Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Pejantan Tangguh

13 April 2016   11:14 Diperbarui: 13 April 2016   11:19 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="metrotimes.com"][/caption]

Terlihat ia duduk tidak tenang.  Rambutnya mengisyarakat itu.  Pundaknya pun bergerak-gerak.  Dari  belakang, aku bisa melihat, kendati dalam remang cahaya.

Perempuan itu,  yang masih terlihat muda, beberapa lama yang lalu duduk persis di samping kiriku, setelah menghentikan bus yang aku tumpangi petang itu;  bus antar kota dalam provinsi.  Ia mencegat di jalan, berselisih dua puluh lima menit denganku yang lebih dulu di atas bus. 

Perempuan dengan kemeja putih, berok pendek gelap yang sepertinya hitam, tapi tidak terlalu hitam itu langsung menyapaku. 

“Mau kemana?”

“Banjarnegara,” jawabku.

“Mmm.  Aku  Wonosobo,” terusnya.

Kemudian kami tak lagi bercakap. 

Aku sendiri kerap canggung berbincang panjang dengan orang yang baru kukenal.  Terlebih perempuan.  Seperti ada saja kebuntuan untuk bertanya banyak-banyak.  Ada juga kadang minder, jika perempuannya teramat anggun atau cantik.  Tapi aku tetap suka berdekatan dengan perempuan.  Aku suka mencuri wangi-wangi tubuh mereka.

Bus menerabas angin pada petang yang semburat merah di sisi barat tengah menggalang kekuatan perpisahan menuju malam.  Kecepatan bus yang tubuhnya tak lagi mulus karena termakan usia, tak punya ritme pas buatku.  Sebentar cepat, kemudian pelan.  Kemudian berhenti menaikkan penumpang.  Kemudian melaju lagi.  Berhenti lagi.  Begitu berkali-kali.

Semakin lama, bus padat penumpang.  Aku senang, setidaknya laju kendaraan akan menidurkanku. Harapku begitu.   Sedang sore makin terasa.  Aku sangat berharap pula, sudah tak ada lagi orang yang melambaikan tangan menghentikan bus ini.  Tapi ternyata, tetap saja.  Bukan hanya menaikkan, tapi  menurunkan orang pun terjadi.  Ah! Kesal.  Dan aku baru kali ini pulang dari Semarang pada saat seperti itu.

Makin jauh bus merangsak menghantam pekat.    Lampu depan terang menyorot jalanan yang sekali waktu lurus.  Tapi kelokan dan tikungan tajam lebih memberi warna dalam perjalanan.  Makin lama, berlipat jarak sudah ditempuh dan mendekati tempat tujuan para penumpang.  Beberapa kursi penumpang pun mulai lengang tak berpenghuni. 

Agaknya, perempuan di sampingku tertarik untuk pindah posisi.  Dua baris di depan kami sudah tak terisi.  Ia permisi kepadaku. Berdiri, melangkah ke depan.  Dan ia sendirian, mememilih  kursi panjang yang  diperuntukkan bagi tiga penumpang itu.

***

Aku serasai naik gerobak saja saat itu.  Bunyi kendaraan geladag-geludug menyebalkan.  “Mungkin mur, baut dan banyak bagian yang sudah tidak erat menempel,” pikirku.  Bus yang sudah digerogoti usia.  Rongsokan, kalau boleh  sarkastis.

Saat hendak naik, aku bisa melihat dari luarnya. Sekali lagi: bus tua! 

Tapi,  biar pun bus  kelas ekonomi, konon ini termasuk primadona, kata orang-orang yang biasa pulang dari Semarang ke arah selatan melewati gunung Sindoro Sumbing yang kontur jalannya menanjak, lantas menurun tajam.  Tetapi pemandangannya indah ini.

Seorang lelaki dewasa kemudian pindah tempat duduk.  Aku lupa, dia naik dari mana.  Tidak jelas alasannya kenapa mendekati dan mengambil sisi kiri perempuan muda itu. Dan ia duduk dengan merdekanya.

Namun,  beberapa saat  berikutnya perempuan muda  yang kini berada di sisi kanan seorang lelaki itu agaknya tidak nyaman.  Aku menyebutnya, perempuan itu mulai diganggu.  Gerakan tubuh lelaki dan perempuan itu mempertontonkan adegan antara pemaksaan dan penolakan.

Perempuan itu menoleh ke belakang.  Ke arahku, yang paling dekat.   Ia menoleh lagi.  Dan beberapa kali begitu.

“Bangsat …!!!!” batinku.

Aku mulai yakin, lelaki itu melakukan pelecehan.  Menjahili.  Ia menggerayangi  tubuh perempuan itu, sangkaku.  Titak tampak dalam tatapan mataku, tapi geliat itu bisa terbaca.   Aku bisa menerka dari gerakan perempuan itu yang menggeliat ingin  keluar dari kekuarangajaran lelaki yang tidak tahu adat.

Lelaki itu tertawa.  Perempuan itu amat tertekan.  Tangannya berusaha menyingkirkan tiap gerakan tangan lelaki kunyuk itu. 

Aku terkejut.  Dua lelaki yang ada di deret sebelah kiri dan dekat mereka juga malah tertawa.  Seperti tengah memberi semangat.  Kawannyakah?  Sangat pasti demikian adanya.

“Bajingan…!!!” batinku lagi.

Aku berpikir bagaimana menolong perempuan itu.  Ia mungkin menyesal kenapa pindah tempat duduk.  Tapi aku mengukur diri, aku bisa dilumat oleh  lelaki yang tubuhnya lebih besar dariku.  Belum lagi, dua temannya, yang sangat pasti akan membantunya jika aku melakukan tindakan melindungi perempuan malang itu.

Sopir melihat dari kaca sepion di atasnya.  Kondektur pun tahu.  Dalam malam yang  mulai pekat dan  angin yang mencuri masuk lewat celah kaca Bus, pelecehan itu sekali-sekali masih berlanjut.

Aku gelisah.  Aku melihat ke belakang.  Semua penumpang asyik dengan dirinya. Aku tidak tahu berapa jumlah yang ada, karena aku tak bisa melihat penumpang yang masuk lewat puntu belakang.  Mungkin mereka  tidak tahu apa yang terjadi.  Tetapi, seorang lelaki berkumis yang duduk tak jauh dariku, membuka Koran yang sedari tadi teronggok  atas pahanya. Kini ia pura-pura membaca.  Padahal, suasana tak terang, tak mungkin bisa mengeja huruf demi huruf.  “ Sompreeeeet!!!” gumamku.

Aku yakin, lelaki itu pun tahu ada kejadian buruk yang menimpa perempuan itu.  Ia  mungkin sama denganku, bertanya:”Apa yang bisa diperbuat di atas Bus?”  Hanya saja, ia bisa mengalihkan perhatian dengan korannya.  Sedang aku tidak.  Aku memikirkan perempuan itu.

Ketiga lelaki itu sekali-kali terbahak.  Sedang perempuan itu ingin menyingkir.  Aku memastikan apa yang ingin diucapkan kepada kami para penumpang: “Tolonglah aku!”

Sementara aku hanya menjawab dalam hati.  “Bagaimana caranya?”

Tidak ada alat yang bisa aku gunakan untuk menghentikan kekurangaajaran itu.  Pisau belati, pistol, palu atau apalah yang bisa membuatnya takut dan berhenti; itu tak ada dalam bawaanku.  Andai saja ada tali, aku bisa mendekati mereka,  kemudian melingkarkan ke leher lelaki itu cepat-cepat dan erat-erat.  Itu pun tak ada. 

Andai ada, apakah ada keberanian untuk bertindak?

Ya, andai karena kecerobohan, kemudian kalap dan aku membunuh cecunguk itu, urusannya panjang. Polisi, kejaksaan, pengadilan, penjara, semua tempat itu mendadak hadir dalam benak.  Ngeri juga menyinggahi tempat-tempat itu!

Kalaulah bukan begitu.  Bisa jadi, akulah korbannya.  Lelaki itu bisa melukaiku bahkan membunuhku.  Oh, alangkah malangnya nasibku, seorang yang bermaksud menolong, akhirnya jatuh sebagai korban.

Bagaimana jika menjeratnya dengan gasper!  Ah, sabuk celana ini mungkin saja bisa.  Tapi tidak nyaman.  Saat begerak, celanaku bisa melorot.  Bukankah itu juga menghambat pergerakan.  Percuma saja.....

Ternyata, aku selalu menemukan alasan.  Akhirnya, aku bergeming dalam bimbang.

***

Aku ini seorang laki-laki.  Sopir dan kondektur tak  beda denganku.  Di dalam bus ini ada puluhan  laki-laki lagi. Bahkan mungkin lebih.  Sedang perempuan itu sendiri.  Satu-satunya penumpang perempuan yang tersisa dalam bus.

Aku tetap saja hanya mengumpat, “Bangsat...!”  Umpatan yang keras di dalam hati.

Umpatan itu bukan saja untuk tiga lelaki, itu pun aku persembahkan untuk diriku sendiri.  Aku, merasa betapa kerdil.  Betapa lemah, sebagai lelaki.  Melihat penindasan di depan mata, tapi diam terkunci tak ada gerakan.

Satu lelaki bangkit, dua yang lain mengikuti.  Selagi hendak berjalan, satu di antara mereka mencolek pipi perempuan itu.  Cekakak-cekikik lelaki jalang berhabur memecah sunyi.

Aku geram melihatnya.  Seperti ingin meludahi saja wajah-wajah mereka.

“Berhenti dekat pertigaan!” kata satu di antara ketiganya sambil menunjuk arah depan. 

Supir menekan pedal rem.  Bus pun perlahan mereda seperti hendak membuang peluh dan kemudian berhenti.  Mereka turun.  Meraka mengumbar tawa kemenangan, dari kaca aku melihatnya.

Aku menghela nafas.  Andai perempuan itu aku, betapa malunya dalam suasana itu, batinku.

Dalam keremangan suasana dalam bus, aku menatap sebuah kemerdekaan yang dirasakan oleh perempuan muda itu.  Tak ubahnya, bagaikan ikan yang terlepas dari kail.  Aku lega.  Tapi aku kecut pada diriku sendiri.

Aku menempelkan punggung pada sandaran kursi.  Walau agak empuk untuk melepas ketegangan otot, tapi pembungkus busa yang koyak  dan tampak memprihatinkan, tak beda dengan perasaanku yang membuncah saat itu.

Tanpa sengaja, kemudian tanganku menyentuh selangkangan.  Aku merasakan tentang status jantanku.  “Apakah  daging yang menempel memanjang ini hanya simbol maskulin belaka?” tanyaku dalam hati.  Sementara tadi, aku tak berdaya untuk menolong satu saja perempuan dalam ketakberdayaan.

Bus pun berhenti lagi.  Kali ini perempuan itu turun dengan wajah tertunduk.  Ia tampak malu. 

Aku berharap, ia memaafkanku.  Memaafkan lelaki yang mendadak  terpuruk karena terlilit perasaan sebagai bukan pejantan tangguh.

 

 

 

__________Bumi Cahyana, 13 April 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun