Makin jauh bus merangsak menghantam pekat. Lampu depan terang menyorot jalanan yang sekali waktu lurus. Tapi kelokan dan tikungan tajam lebih memberi warna dalam perjalanan. Makin lama, berlipat jarak sudah ditempuh dan mendekati tempat tujuan para penumpang. Beberapa kursi penumpang pun mulai lengang tak berpenghuni.
Agaknya, perempuan di sampingku tertarik untuk pindah posisi. Dua baris di depan kami sudah tak terisi. Ia permisi kepadaku. Berdiri, melangkah ke depan. Dan ia sendirian, mememilih kursi panjang yang diperuntukkan bagi tiga penumpang itu.
***
Aku serasai naik gerobak saja saat itu. Bunyi kendaraan geladag-geludug menyebalkan. “Mungkin mur, baut dan banyak bagian yang sudah tidak erat menempel,” pikirku. Bus yang sudah digerogoti usia. Rongsokan, kalau boleh sarkastis.
Saat hendak naik, aku bisa melihat dari luarnya. Sekali lagi: bus tua!
Tapi, biar pun bus kelas ekonomi, konon ini termasuk primadona, kata orang-orang yang biasa pulang dari Semarang ke arah selatan melewati gunung Sindoro Sumbing yang kontur jalannya menanjak, lantas menurun tajam. Tetapi pemandangannya indah ini.
Seorang lelaki dewasa kemudian pindah tempat duduk. Aku lupa, dia naik dari mana. Tidak jelas alasannya kenapa mendekati dan mengambil sisi kiri perempuan muda itu. Dan ia duduk dengan merdekanya.
Namun, beberapa saat berikutnya perempuan muda yang kini berada di sisi kanan seorang lelaki itu agaknya tidak nyaman. Aku menyebutnya, perempuan itu mulai diganggu. Gerakan tubuh lelaki dan perempuan itu mempertontonkan adegan antara pemaksaan dan penolakan.
Perempuan itu menoleh ke belakang. Ke arahku, yang paling dekat. Ia menoleh lagi. Dan beberapa kali begitu.
“Bangsat …!!!!” batinku.
Aku mulai yakin, lelaki itu melakukan pelecehan. Menjahili. Ia menggerayangi tubuh perempuan itu, sangkaku. Titak tampak dalam tatapan mataku, tapi geliat itu bisa terbaca. Aku bisa menerka dari gerakan perempuan itu yang menggeliat ingin keluar dari kekuarangajaran lelaki yang tidak tahu adat.