Supir menekan pedal rem. Bus pun perlahan mereda seperti hendak membuang peluh dan kemudian berhenti. Mereka turun. Meraka mengumbar tawa kemenangan, dari kaca aku melihatnya.
Aku menghela nafas. Andai perempuan itu aku, betapa malunya dalam suasana itu, batinku.
Dalam keremangan suasana dalam bus, aku menatap sebuah kemerdekaan yang dirasakan oleh perempuan muda itu. Tak ubahnya, bagaikan ikan yang terlepas dari kail. Aku lega. Tapi aku kecut pada diriku sendiri.
Aku menempelkan punggung pada sandaran kursi. Walau agak empuk untuk melepas ketegangan otot, tapi pembungkus busa yang koyak dan tampak memprihatinkan, tak beda dengan perasaanku yang membuncah saat itu.
Tanpa sengaja, kemudian tanganku menyentuh selangkangan. Aku merasakan tentang status jantanku. “Apakah daging yang menempel memanjang ini hanya simbol maskulin belaka?” tanyaku dalam hati. Sementara tadi, aku tak berdaya untuk menolong satu saja perempuan dalam ketakberdayaan.
Bus pun berhenti lagi. Kali ini perempuan itu turun dengan wajah tertunduk. Ia tampak malu.
Aku berharap, ia memaafkanku. Memaafkan lelaki yang mendadak terpuruk karena terlilit perasaan sebagai bukan pejantan tangguh.
__________Bumi Cahyana, 13 April 2016