Ya, andai karena kecerobohan, kemudian kalap dan aku membunuh cecunguk itu, urusannya panjang. Polisi, kejaksaan, pengadilan, penjara, semua tempat itu mendadak hadir dalam benak. Ngeri juga menyinggahi tempat-tempat itu!
Kalaulah bukan begitu. Bisa jadi, akulah korbannya. Lelaki itu bisa melukaiku bahkan membunuhku. Oh, alangkah malangnya nasibku, seorang yang bermaksud menolong, akhirnya jatuh sebagai korban.
Bagaimana jika menjeratnya dengan gasper! Ah, sabuk celana ini mungkin saja bisa. Tapi tidak nyaman. Saat begerak, celanaku bisa melorot. Bukankah itu juga menghambat pergerakan. Percuma saja.....
Ternyata, aku selalu menemukan alasan. Akhirnya, aku bergeming dalam bimbang.
***
Aku ini seorang laki-laki. Sopir dan kondektur tak beda denganku. Di dalam bus ini ada puluhan laki-laki lagi. Bahkan mungkin lebih. Sedang perempuan itu sendiri. Satu-satunya penumpang perempuan yang tersisa dalam bus.
Aku tetap saja hanya mengumpat, “Bangsat...!” Umpatan yang keras di dalam hati.
Umpatan itu bukan saja untuk tiga lelaki, itu pun aku persembahkan untuk diriku sendiri. Aku, merasa betapa kerdil. Betapa lemah, sebagai lelaki. Melihat penindasan di depan mata, tapi diam terkunci tak ada gerakan.
Satu lelaki bangkit, dua yang lain mengikuti. Selagi hendak berjalan, satu di antara mereka mencolek pipi perempuan itu. Cekakak-cekikik lelaki jalang berhabur memecah sunyi.
Aku geram melihatnya. Seperti ingin meludahi saja wajah-wajah mereka.
“Berhenti dekat pertigaan!” kata satu di antara ketiganya sambil menunjuk arah depan.