[caption caption="sumber: ponytailparty.blogspot.com"][/caption]1.
Sudah setahun ini temanku menganggur. Ketika hendak memperpanjang KTP, ia sengaja kosongi kolom pekerjaan. Ia berusaha jujur. Bahwa dirinya memang pengangguran. Alias, tidak punya pekerjaan. Ia tak mau menelan ludah yang telah keluar dari mulutnya. Bahwasanya ia telah mengajarkan kepada kedua anaknya, ”Jangan kau gadaikan kejujuranmu, walau dalam penderitaan.” Tetapi petugas di kecamatan tidak akan mengurus KTP-nya, jika form belum diisi lengkap. Ia meminta temanku untuk menulis saja. “Terserah yang Bapak suka, yang penting ada tulisannya.”
Biar tidak berpanjang-panjang, temanku lantas mengisinya sesuai arahan. Ia berpikir sejenak, kemudian menulis pada kolom form itu. Pekerjaan: Menidurkan istri.
2.
Karena tempat tinggalnya dekat pasar, seorang kepala dusun yang terkenal suka slimpat-slimpet mencari objekan untuk kantong pribadinya, mendekati temanku itu. Katanya, sekarang pasar sudah ramai. Banyak motor parkir di sana. Ratusan berjejer tiap harinya. "Ini kesempatan untuk kita sebagai warga sini," lanjut kepala dusun itu.
Di mata orang itu, recehan parkir akan menjadi seperti pancuran. Mengalir dan mengalir. Sudah dua kali lelaki itu meminta kesediaan temanku untuk menjadi juru parkir.
“Cuma Anda yang bisa diandalkan. Kami butuh orang yang jujur dan terpercaya.”
Dan temanku yang pengangguran itu menjawab, “Aku kupikir-pikir dulu!” Sebuah kalimat penolakan halus.
Pada kemudian waktu ia berkata kepadaku, bagaimana mungkin dirinya mau menarik uang parkir; apalagi statusnya parkiran liar. Sedang dia sendiri enggan memberi uang parkir saat mengistirahatkan motornya di tepian jalan kota.
3.
Sekali waktu aku mendatangi rumah temanku itu. Sebenarnya, itu rumah peninggalan orang tuanya. Sementara ia tinggali, karena belum punya rumah sendiri. Cukup besar bangunan untuk keluarga berjumlah empat orang. Kamarnya pun empat.