Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepiting di Punggung Suamiku

26 Februari 2016   08:49 Diperbarui: 27 Februari 2016   13:10 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="iftfishing.com"][/caption]
Dulu aku sudah mewanti-wanti diriku, jangan menikah dengan lelaki bertato.  Di mataku, tubuh seperti itu menjadi terlihat tidak indah. Tapi tiga bulan masa kedekatanku dengan lelaki yang kini jadi suamiku, tak sekalipun menjumpai barang tidak sengaja tato itu. Ia tak pernah sembrono membuka penutup badan di sembarang tempat. Dan, karenanya, aku tak pernah melihat dia bertelanjang sekedar lepas baju atau kaos.

Pernah suatu kali aku mengajak dia berenang. Tapi dia menolak. “Kapan-kapan saja, kalau kita sudah menikah.”

Ah, aku agak kecewa. Sedangkan yang kutunggu adalah jawaban yang cepat dengan wajah bersuka-suka, lazimnya laki-laki jatuh cinta pada seorang perempuan. Kan, biasanya lelaki selalu begitu. Selalu menjawab: ya, untuk mengembirakan kekasih hatinya.

“Tidak bisa berenang?” Aku tanya padanya.

Ia menatapku lembut. Tersenyum dan mencubit lengan kiriku. “Aku biasa nyemplung di kedung?” balasnya.

Kedung?”

“Ah, anak kota. Mana tahu kedung!” ketusnya. Kedung itu bagian terdalam dari sungai, katanya kemudian.

Sampai akhirnya kami menikah.  Bapakku berkata, aku sudah mendekati usia tiga puluh.  Aku mengerti maksudnya: jangan jadi perawan tua.

Semenjak itu, aku dan dia tidak canggung-canggung lagi buka-bukaan. Sudah tak ada verbodden. Sampai suatu sore saat sehabis mandi, aku lihat pada punggungnya ada sesuatu mirip lingkaran.  Warna hijau lumutnya penuh menutupnya. Letaknya sedikit di atas pinggang. Luasnya, seluas kuku ibu jari orang dewasa.

“Kamu punya belong, ternyata. Oleh-oleh sejak lahir?” Aku mencoba bergurau.

Dan ia membalikkan badan, mengarahkan ke cermin pintu lemari pakaian. Tampaknya dia kesulitan untuk melihat gambar itu.

“Bukan. Bukan belong. Itu gambar kepiting.”

“Oh, tato kepiting?”

Ia mengangguk sambil menatapku. “Ya. Seperti tato….!” Ujarnya.

Sebenarnya tentang tato itu aku sudah mengabaikan. Aku tidak mau mempermasalahkan yang menempel pada kulit suamiku. Toh, orang lain pun tak selalu bisa melihatnya. Setidaknya, ada rasa nyaman bagiku sebagai istri.

Tapi kemudian waktu ada kejadian di kamar, saat pada malam hari ada sesuatu yang bergerak dari leher kemudian mendekati payu daraku. Aku geli. Terperanjat! Aku terjaga dari tidurku. Ada sesuatu yang mencubit-cubit. Kemudian menghilang setelah tanganku memegang dada. Dan, aku yakin itu bukan kejahilan suamiku. Di sampingku ia tengah terlelap.

Kejadian itu berulang kali, sampai akhirnya aku menjerit karenanya. Aku seperti dicapit sesuatu.  Keras.  Ada goresan luka. Dan suamiku terkesiap pada tengah malam itu. “Ada apa?”

Aku menunjukkan lukaku padanya.

“Ada yang menggigit  dadamu?” Dia bertanya sembari mengucek mata, menajamkan penglihatan ke tempat yang kutunjukkan. “Oh!” ia berseru.

Seketika kami menggeladah tempat tidur. Menilik pada setiap sela yang mungkin jadi tempat sembunyi. Mengangkat bantal, guling juga selimut. Nihil. Tak menemukan apapun. Sesudahnya, aku jadi enggan tidur lagi.  Tapi akhirnya tertidur juga.

Puncaknya ketika kami bercinta pada suatu malam. Tetiba ada yang menggigit pantatku. Aku tersentak. Suamiku melonjak. “Sakit?”
“Iya. Sakit!” jawabku.
“Ganti posisi saja.”
“Bukan itu!” Suaraku meninggi. “Ada yang menggigit pantatku!”
“Hah….!”

Kami terpaksa urung bercinta. Wajahku murung. Nafsu suamiku menggantung. Kemudian, berdua mencari penyebab luka yang ada di pantat kananku bagian luar. Untuk kesekian kali, aku dan dia tak menemukan yang membikin suasana kamar tak nyaman.

***

Suatu saat, aku tanyakan pada suamiku tentang gambar kepiting di punggung bagian bawah itu. Aku belum menghubungkan antara gigitan yang mengena kulitku dengan tato kepitingnya. Hanya sekedar tanya. “Sejak kapan punya itu?”

Gambar itu sudah melekat sejak usia tiga puluh dua tahun, katanya. Ada seorang nenek renta menawari: apakah nak Mas mau pakai ajian Yuyu Kangkang? Ia menceritakan awal kisahnya.

Suamiku berkata, dirinya sama sekali tak tahu menahu hal semacam itu. Suatu kali ia bertemu dengan teman SMA, dan mengajaknya ke sebuah tempat. “Kita kan sudah lapuk. Tapi belum juga ketemu pendamping hidup. Kita mesti punya cara yang luar biasa. Kalau biasa-biasa terus, nyatanya seperti ini.”

Di tempat nenek tua yang rambutnya tergerai memutih itu, keduanya mengemukakan maksud kedatangannya. Kami berdua ingin segera bertemu jodoh, ucap teman suamiku. Nenek itu menganguk-anggukkan dagunya. Kemahiran perempuan tua itu menyatukan insan untuk bertemu jodoh sudah kondang kawentar. Terkenal, hingga jangkauan yang ia sendiri tak memperkirakan. Sampai akhirnya, nama Panijem miliknya tenggelam, dan beralih menjadi Nenek Srendil, karena tinggal di Gunung Srendil.

“Pakailah ajian Yuyu Kangkang ini. Ini memudahkan kalian berdua menaklukkan perempuan yang kalian senangi!” kata nenek itu.

Lewat sebuah ritual singkat yang entah bagaimana caranya di dalam bilik kecil, ajian Yuyu Kangkang itu terpasang. Mereka boleh memilih tempat memasangnya. Suamiku memilih punggung bagian bawah. Sedang temannya memilih lengan kanannya.
Ketika kutanya alasannya, suamiku hanya menjawab: biar tidak terlalu mencolok mata.

“Apakah ajian itu bisa dihilangkan?” tanyaku kemudian. Suamiku terdiam sejenak. Menggeleng. “Tidak tahu.” Aku tak berpikir bertanya seperti itu saat di gunung Srendil, ungkapnya.

"Hilangkan saja!" pintaku saat itu.

"Jangan!"

"Kenapa?"

"Pokoknya, aku tidak mau!"

Dan ia tidak memberikan penjelasan keberatannya.  Aku enggan memaksanya berterus terang.  Untuk sementara biarkanlah dulu.

***
Aku mulai penasaran dengan ajian Yuyu Kangkang. Apakah ada hubungannya dengan kejadian-kejadian di kamar.  Melalui serangkaian pencaritahuan pada beberapa orang yang mengerti dunia ajian semacam itu, akhirnya aku tahu. Bahwasannya ajian  yang melekat pada diri suamiku memang bisa mengganggu pasangan hidupnya.  Tapi bisa dihilangkan. 

Ki Mripatpapat, lelaki tua yang kesehariannya berikat kepala kain motif batik, berbaju dan bercelana hitam komprang memberitahuku tentang hal itu. Atas bantuan Paman, aku diantarkan ke rumahnya di sebuah pelosok desa pada suatu waktu, yang untuk menuju rumahnya harus berjalan kaki di atas jalan setapak mendaki. Untuk keperluan ini, aku sudah minta izin ke suami: Aku mau menengok paman.

Panjang lebar ia bercerita tentang kisah Yuyu Kangkang. Kemudian memaparkan kekuatan dan kelemahan ajian itu. Dan, yang aku harapkan kesampaian juga. Ia berkata, tentang bagaimana mengeluaran si Yuyu kangkang itu.

“Berarti hanya aku sendiri yang bisa melakukannya, Ki?” Aku ingin mendapat kepastian, maka bertanya.

“Ya, Cuma kamu, Nak Ayu!”

***
Udara panas malam hari membuat suamiku gerah. Ia melukar kaos yang sedari sore dikenakan dan tidur dengan setengah telanjang. Sampai pada menjelang tengah malam, ia membalikkan tubuhnya. Ia tengkurap. Aku yang sedari tadi mulai terjaga melihat itu. “Inilah waktunya.”

Mengikuti petunjuk Ki Mripatpapat, aku menyiapkan wadah plastik. Berukuran kecil dan berpenutup. Satu menit aku mencoba menatap gambar itu. Penasaran, benarkah kepiting itu bisa keluar dari tubuh suamiku.

Dengan hati-hati, aku mengolesi bidang  bergambar itu dengan minyak klentik. Itu juga petunjuk dari Ki Mripatpapat. “Supaya cepat keluar, dan suamimu tidak bangun.” Satu mantra aku baca. Bibirku mengucap pelan, komat-kamit.  Amat pelan: Tang golentang kakang yuyu metu kandang. Berulang-ulang.

Dalam temaram lampu tidur, aku terbelalak. Kulit bergambar itu membusung menyerupai segunduk biji salak. Kemudian bergerak-gerak memperlihatkan cangkang hijau kehitaman. Selangkah berikutnya, muncul lima pasang kaki. Satu pasang lebih besar dan berbentuk capit. Wow, aku benar-benar terpana!

Kemudian kulit tubuh suamiku itu menutup dengan sendiri tanpa bekas apapun. Dan si kepiting berjalan pelan. Aku segera menangkap dengan tanpa rasa takut sedikit pun. Sekarang, binatang itu sudah berpindah ke wadah plastik.

Secepatnya, aku menutup badanku dengan pakaian. Sedari tadi kemolekan tubuhku kugunakan untuk menggoda Yuyu Kangkang itu keluar dari persembunyian.

***
Siang hari itu masih remaja. Rumahku lengang. Sendiri aku berada di dapur. Pagi sebelum pukul tujuh, suamiku sudah berangkat kerja, menciumku dengan lembut kedua pipi ini. Kemesraan yang jika dilihat pasangan lain bisa membuat iri. Bisa dimaklumi, lelaki pendampingku tak seperti orang berpacaran saja, dulu. Tak mengumbar romantis barang secuil. Dan mungkin, saat setelah menikah itulah, ia menunjukkan kesejatiannya.

Wadah plastik berisi kepiting aku keluarkan dari tempat rahasiaku. Aku pindahan isinya ke plastik pembungkus. Sebilah pisau terambil dari tempatnya. Di atas talenan kayu, ujung pisau itu aku tancapkan pada tubuh kepiting yang mengangkang. Jleb….jleb….jleb….! Tiga kali tusukan merobek perut binatang itu. Sesudahnya, dengan batu pengulek sambal, aku hantamkan hingga kepiting itu rusak tak beraturan. Dan, tempat sampah menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.

Lega, perasaanku. Setidaknya, tidurku dan juga kamarku nanti menjadi damai.

***
Sore hari, telepon genggamku berbunyi. Kuambil.  Kulihat dari  nomor yang tidak terdaftar dalam HP-ku. Enggan rasanya menerima sambungan itu. Tetapi, tak juga suara itu berhenti, hingga aku coba menerima.

“Selamat sore. Saya dari kepolisian. Bisa bicara dengan Ibu Tresno Sanjoyo?”

“Ya, selamat siang. Aku sendiri, istrinya.”

Mendengar kata kepolisian, pikiranku tak karuan. “Ada yang bisa aku bantu, Bapak?”

“Begini. Mohon sekarang ibu ke rumah sakit daerah. Suami ibu sedang berada di IGD. Kami akan menjelaskannya nanti, di sana. Mohon secepatnya. Terimakasih. Selamat siang.”

Sejurus langkah, aku meninggalkan rumah dengan menaiki motor. Aku meminta seorang teman mengantarku ke rumah sakit. Langsung, ke IGD kami memburu suamiku berada, setelah motor terparkir. Untung, jarak antara tempat parkir dan IGD tidak terlalu jauh. Kami berdua bisa cepat sampai.

Tampak, seorang polisi berseragam tengah berdiri. Aku hampiri saja, siapa tahu dia yang menelepon tadi. “Maaf, apakah Bapak yang mengurus suamiku. Namanya Tresno Sanjoyo. Aku tadi diberi tahu untuk segera kemari.”

“Oh, Ibu Tresno.” Polisi itu menyalami kami.

“Kenapa dengan suamiku? Kecelakaan lalu lintas?”

“Bukan. Dia kena peluru salah sasaran.”

Oh!  Aku lemas, terkulai, kemudian dipapah oleh beberapa orang ke tempat duduk.

Sampai akhirnya, polisi itu memintaku untuk menengok suamiku di ruangan ICU. Ternyata ia sudah dipindahkan. 

Tampaknya anastesi sisa operasi masih mempengaruhi kesadarannya. Dan, oleh petugas jaga ICU, aku ditunjukkan luka di tubuh suamiku. Kutatap foto X ray itu.  Terlihat olehku, proyektil peluru menembus punggung suamiku.  Aku meyakini, lubang luka  tepat berada di gambar kepiting. 

“Petugas kami sedang memburu bandar narkoba. Mereka melepas tembakan. Dan, suami ibu roboh dari kendaran. Salah satu peluru nyasar mengena punggungnya,” ucap polisi berpangkat Ajun Inspektur itu.

Aku bergeming.  Dadaku sesak.  Mataku tak jelas arah.

Di ruang tunggu ICU, aku menjatuhkan tubuh pada sebuah bangku metal.  Bertanya dalam hati.  Apakah apes suamiku hari ini ada hubungannya dengan lenyapnya si Yuyu Kangkang dari tubuhnya? 

Aku dilanda rasa cemas yang meninggi.  Dan bayang-banyang akan kematian suamiku menari-nari di pelupuk mata. (***)

 

 

________Bumi Cahyana, 25 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun