Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepiting di Punggung Suamiku

26 Februari 2016   08:49 Diperbarui: 27 Februari 2016   13:10 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Suatu saat, aku tanyakan pada suamiku tentang gambar kepiting di punggung bagian bawah itu. Aku belum menghubungkan antara gigitan yang mengena kulitku dengan tato kepitingnya. Hanya sekedar tanya. “Sejak kapan punya itu?”

Gambar itu sudah melekat sejak usia tiga puluh dua tahun, katanya. Ada seorang nenek renta menawari: apakah nak Mas mau pakai ajian Yuyu Kangkang? Ia menceritakan awal kisahnya.

Suamiku berkata, dirinya sama sekali tak tahu menahu hal semacam itu. Suatu kali ia bertemu dengan teman SMA, dan mengajaknya ke sebuah tempat. “Kita kan sudah lapuk. Tapi belum juga ketemu pendamping hidup. Kita mesti punya cara yang luar biasa. Kalau biasa-biasa terus, nyatanya seperti ini.”

Di tempat nenek tua yang rambutnya tergerai memutih itu, keduanya mengemukakan maksud kedatangannya. Kami berdua ingin segera bertemu jodoh, ucap teman suamiku. Nenek itu menganguk-anggukkan dagunya. Kemahiran perempuan tua itu menyatukan insan untuk bertemu jodoh sudah kondang kawentar. Terkenal, hingga jangkauan yang ia sendiri tak memperkirakan. Sampai akhirnya, nama Panijem miliknya tenggelam, dan beralih menjadi Nenek Srendil, karena tinggal di Gunung Srendil.

“Pakailah ajian Yuyu Kangkang ini. Ini memudahkan kalian berdua menaklukkan perempuan yang kalian senangi!” kata nenek itu.

Lewat sebuah ritual singkat yang entah bagaimana caranya di dalam bilik kecil, ajian Yuyu Kangkang itu terpasang. Mereka boleh memilih tempat memasangnya. Suamiku memilih punggung bagian bawah. Sedang temannya memilih lengan kanannya.
Ketika kutanya alasannya, suamiku hanya menjawab: biar tidak terlalu mencolok mata.

“Apakah ajian itu bisa dihilangkan?” tanyaku kemudian. Suamiku terdiam sejenak. Menggeleng. “Tidak tahu.” Aku tak berpikir bertanya seperti itu saat di gunung Srendil, ungkapnya.

"Hilangkan saja!" pintaku saat itu.

"Jangan!"

"Kenapa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun