Ada bimbang, membolehkan atau melarang. Tetapi istriku kuat mendesak. Dan aku tak mampu membendung hasratnya. Apalagi kenyataan, penghasilanku tak menentu. Dan itu cukup menjadi alasan baginya. Istriku ingin punya rumah bagus. Atau setidaknya lebih layak jika kami punya anak. Ingin pula punya sawah, ucapnya. Biar kami nanti bertanam padi, jagung atau sayuran. Maka aku luluh dengan impian indah perempuan itu.
Benar adanya, kirimannya pasti datang setiap bulan. Hingga terkumpul puluhan juta. Setidaknya uang itu cukup. Aku sudah tanya ke beberapa orang yang sudah membangun rumah yang aku anggap sederhana: habis berapa juta?
Maka, aku pun memberitahu ke istri, “Aku akan memulai pemugaran rumah. Mohon doanya.”
Sekarang, aku hanya bisa menatap tulang belulang istriku di dalam kamar. Aku merasakan kembali, sebagaimana awal kami berumah tangga. Bersanding dalam satu atap. Hanya saja, dia tak lagi seperti dulu: menanak nasi, menyeduh segelas teh atau memberesi rumah. Ia hanya seonggok benda kaku berwarna putih batu gamping. Tak lagi ada sorot mata yang menyala. Suara seraknya hilang tak lagi mengusik telingaku. Aku sedih dengan nasibnya. “Kenapa aku izinkan dia berangkat ke luar negeri?”
Kini, aku sudah merasa nyaman di rumah. Sunyiku mulai pudar. Wajahku tak lagi kaku. Senyumku pun mudah mengembang.
Namun, ketika suatu sore telah membalut hari, seorang tetangga masuk ke rumahku. Tanpa salam, menjumpaiku tengah memandikan tulang belulang itu. Dia terkejut. Aku gelagapan, sampai hampir saja membuang benda yang aku pegang itu.
“Tulang? Tulang apa itu, Rasam?” Lelaki itu bersuara seperti mau berbisik, tetapi keras terdengar.
Aku terdiam. Bingung. Tapi tak ada pilihan lain, kecuali menjawab.
“Tulang istriku!” Entah percaya atau tidak, setelah mendengar jawabanku , ia langsung pergi.
Sehari kemudian, berita bahwa aku menyimpan tulang istriku tersebar. Mereka meyakini hal itu sahih. Tampaknya, cerita dari lelaki yang mendatangiku tidak cuma didengar. Beberapa orang telah mendatangi bekas makam istriku. Mereka melihat, dari bentuk permukaan tanah yang acak-acakan, bahwa telah terjadi pembongkaran kuburan. Pak Kuncen, juru kunci kuburan pun memperkuat kesaksian mereka.
Suasana desa gempar. Cerita-cerita miring sudah beterbangan dan hinggap di semua wuwungan rumah desa.