“Bagaiamana kalau perempuan-perempuan yang katanya bertengkar dengan suami, kita mintai keterangannya?”
“Oh, jangan. Nanti memancing kecemburuan. Kita dikira sedang bersekongkol.”
Perdebatan panjang hingga pukul 01.08 dini hari. Belum ada kesepakatan pemecahan masalah. Semua sudah keburu mengantuk. Dan di tempat itu pula mereka menggelar karpet. Tidur bersama, menikmati akhir pekan.
Mereka hanya sepakat: untuk belum sepakat. Demikian hasil rapat itu.
***
Namanya saja lingkungan RT, berita kasus ini mulai menyebar dari pintu ke pintu. Orang-orang bukan prihatin, malah mau memastikan: seperti apakah pakaian dalam Nona Noni.
Ada yang menjadi mata-mata, pemberi informasi saat pakaian Nonan Noni berderet di depan kontrakan setelah dicuci. Biasanya, Nona Noni menggantungkannya pada malam hari. sesudahnya, ia istirahat, menonton tivi, internetan atau tidur. Sampai akhirnya panas matahari mengeringkan jemuran itu, diambilah dan dibenahi keesokan hari.
Nona Noni makin melihat keanehan. Beberapa laki-laki secara tanpa malu-malu menatapi jemurannya. Ada yang berjalan sambil tersenyum. Berhenti sejenak. Bahkan memotret dengan kamere HP-nya pun dilakukan. Ia melihat itu, dari balik tirai jendera kontrakan. Ada apa? Semua tampak melihat jemuran, pikirnya.
“Astaga. Daleman!” ia baru ngeh. Insting keperempuanannya memberitahu.
Perempuan manis ini menjadi risih. Privasinya mulai terganggu. Maka, ia mengajukan permohonan ke Haji Sanusi. “Saya mau pindah kontrakan saja, Pak Haji. Ada teman sekantor yang sebelah kamarnya tidak terisi. Saya mau pindah ke sana.”
Sedikit orang yang tahu kepindahannya pada akhir bulan. Nona Noni melakukannya pagi buta. Seorang lelaki, teman karib, membawa mobil pick up mengangkut barang-barangnya.
Pada hari berikutnya, banyak warga kaget. Kontrakan Nona Noni gelap dan sepi. Belum banyak warga yang tahu, kecuali Haji Sanusi dan istrinya. Perempuan itu berpesan. “Mohon, jangan bocorkan kepindahan saya, ke siapapun.”