Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Coklat Tua

21 Desember 2015   17:18 Diperbarui: 21 Desember 2015   17:18 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada kebahagian yang bisa dilebihkan jika menemui ibunya dalam keadaan sehat. Bahkan, akan menjadi berlipat bilamana melihat ia mengurai tawa dan bergurau.

Rumah yang sederhana itu menjadi hangat. Lampu-lampu yang kemarin waktu meredup, kini seakan terangnya menguat.  Ibunya senang, Aiman datang menengoknya. Anak bungsu, yang untaian doa untuknya melangit dari dini hari hingga malam dari orang tua yang tinggal satu itu. Bagaimana tidak, ia menjadi anak yang paling sedikit ditemani Bapaknya. Lelaki yang meninggal ketika Aiman baru meranjak dua tahun.

Malam itu, saat keduanya bercakap di dalam kamar, Ibu Aiman memamerkan sebuah sajadah. Panjang kali lebarnya tak beda dengan rata-rata yang banyak dipakai. Warnanya tunggal. Coklat tua yang menyebar merata pada permukaan yang lembut itu. .

“Ini bingkisan sewaktu kemarin ikut pengajian. Baru kali ini, ibu ikut pengajian beroleh bingkisan sajadah.”

Aiman menjulurkan tangan. Dimintalah sajadah itu. Ia pegang. Ia bentangkan. Ia menciumnya dua kali. Senyumnya mengembang. Bau kain yang belum lama dicuci, tebaknya dalam hati. Aroma lembut pewangi yang melekat, nakal membelai mesra bulu hidungnya.

“Apa Ibu masih ingat, isi pengajian waktu itu?” tanyanya seraya bergurau.

“Ingat. Tapi sedikit.” Ia mencoba mengeluarkan isi dalam memorinya.

“Ada seseorang, yang bicara paling akhir. Katanya, kami yang hadir diminta mengingat-ingat gambar nomor urut 1. Kami diminta pilih dia. Coblos calon Bupati kita. Begitu.”

Keduanya lantas tertawa kecil.  "Itu namanya kampanye, Bu."

Sementara itu, pada langit-langit kamar, lima ekor cicak dewasa lagi bertubuh subur, terdiam mendengar perempuan tua itu bicara. Seekor nyamuk yang sedianya akan menjadi rebutan, dibiarkan terbang. Sepertinya mereka ingin pula menyimak tutur kata pemilik rumah.

Cicak-cicak itu menaruh rasa hormat terhadap tuan rumah, yang tak sekalipun pernah mengusir kehadiran mereka di kamarnya. Apalagi, ibu tua itu pengertian.  Belum pernah menjumpai, ia menggunakan obat nyamuk semprot ataupun bakar.  Ia cukup mengoles krim anti nyamuk.  Nyamuk-nyamuk jadi enggan menghisap darah. Mereka mengudara mendekat lampu. Menjadi incaran para cicak, bertarung untuk asupan gizi. "Kami tak ubahnya seperti cucu-cucunya," kata seekor cicak pada teman-temannya, pada suatu ketika. Dan mereka sepakat akan hal itu.  Maka setiap perempuan itu bicara, mereka menyimak. Laksana cucu mendengar neneknya bicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun