Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eyang Kakung

2 Desember 2015   09:00 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:17 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersentak. Eyang tersungkur, terbawa tarikan kuat orang tadi. Ia berusaha mempertahankan miliknya. Ia pertahankan sekuatnya. Tapi ia lupa dengan kerentaan yang sudah menggerogotinya. Ia terseret di atas hamparan aspal kasar. Lecet dan terluka, lengan panjang kemejanya sobek.

Sontak, keempat orang yang sedikit mendului tadi, bergerak. Tapi mengejar penjambret itu, seperti mengejar celeng. Percuma. Mereka sudah tua. Hanya berteriak. “Jambreeeeeet…!”

Tas masih bisa diselamatkan, walau talinya putus. Uang pensiun aman. Si jambret tunggang langgang menghindar dari kejaran massa.

***
Bukan jumlah uang yang dipertahankan. Tapi nilai tersembunyi dibalik perjalanannya sebagai guru, yang menyebabkan ia reflek untuk sekuat tenaga mempertahankannya.

“Uang itu untuk menghargai ibumu,” ujarnya saat ibu saya menanyakan padanya: kenapa sampai harus bertarung dengan jambret.

Eyang Kakung, pada jaman perang kemerdekaan sudah menjadi guru. Tak tahu dari mana ilmunya. Semasa itu, ia sudah menguasai tiga tulisan: Latin, Arab dan aksara Jawa.

Guru Angka Loro. Beliau terkenal dengan sebutan itu, artinya ia mengajar untuk kelas dua Sekorah Rakyat: setingkat SD. Ia jadikan bale: ruang depan rumahnya, sebagai ruang kelas. Bukan sekedar anak dari satu desa yang datang, yang dari luar desa pun bersekolah di situ. Menjadi muridnya.

Belum ada gaji yang diterima setiap bulan. Negara masih kesulitan karena tengah menghadapi perang dan pemberontakan. Dan, untuk menopang kehidupannya, Eyang Putrilah yang membantu, dengan membuka warung nasi. Selain hasil panen dari sawah yang mereka miliki.

Kegiatan belajar kadang kala harus terhenti. Agresi Belanda, Desember 1948 membuat semua tidak aman. Mengungsi ke daerah pegunungan adalah pilihan yang harus dilakukan. Dan, setelah reda, mereka baru bisa melanjutkan kembali.

“Uang itu sepenuhnya hak ibumu. Jadi Rama berusaha pertahankan. Semua orang akan bertindak begitu ketika haknya direbut orang seenaknya!”

Kamu masih ingat dulu kan, ibumu buka warung, sedang Rama mengajar. Kamu sesekali membantu juga. Bapakmu melakoni menjadi guru karena ada ilmu yang bisa dibagi, ujarnya. Mau mikir gaji bagaimana, wong negara masih belum mapan. Jadi pengorbanan ibumu merelakan suaminya mengajar itu yang Ramamu hargai.  Makanya waktu tas itu dijambret, yang kepikir seketika itu malah ibumu, tegasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun