Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eyang Kakung

2 Desember 2015   09:00 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:17 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1 April 1982

Matahari seperti tengah mengejan. Berusaha menampakkan sedikit demi sedikit bulatan putih kekuningan yang menyilaukan pada awal pagi itu. Pagi yang bagi anak seusia saya adalah terlalu pagi untuk beranjak dari tempat tidur. Walau hawa dingin sudah mulai enggan menggoda dibanding dengan beberapa jam yang lalu, tetapi rasa malas kerap menjadi jangkar untuk tetap berada di dalam kamar.

Tetapi, saya yang sudah bangun melihat, Eyang Kakung sudah rapi dan siap berangkat.

Jika melihat Eyang Kakung seperti pagi itu; berkopiah hitam, berkemeja batik sambil mengapit tas hitam, yang beliau gantungkan talinya pada bahu kiri, saya merasa senang. Begitu juga cucu-cucu yang lain.
Berarti, beliau hendak mengambil uang pensiunan. Sedang kami terbiasa menunggu oleh-oleh dari kota.

Siang, waktu yang dinanti itu tiba, Eyang putri menunggu. Tetapi, seorang lelaki paruh baya yang sangat dikenalnya datang mengetuk pintu. Ia pun dipersilahkan masuk.

Ia sedikit canggung bicara.

“Nuwunsewu mBakyu, Mas Guru pulangnya terlambat”

“Lo, kenapa ?”

Lelaki itu agak kesulitan untuk berterus terang. Tapi akhirnya bicara yang terjadi.

“Tadi terjatuh. Berantem!”

Kata berantem bukanlah kata yang tepat sebenarnya. Itu menjadikan Eyang putri mendadak lemas. Pikiran buruknya mengumbar menyelimuti tubuhnya.

Sudah beberapa kali, Eyang Kakung diminta untuk tidak berangkat sendiri mengambil uang pensiunan.
“Rama kan sudah sepuh. Biar diwakilkan saja,” bujuk Eyang Putri pada suatu ketika.
“Wong, masih bisa jalan. Kenapa dilarang!,” jawabnya cetar.

Karena tidak digubris, Eyang Putri sudah enggan lagi menasehati. Maka, anak-anaknya pun sejurus dengannya, merelakan Bapaknya pergi sendiri.

“Kan, Rama berangkat bareng. Sesama pensiunan. Kenapa mesti khawatir?”

Setelah Eyang Kakung memberi sanggahan, ibu saya bersikap sama. “Nggih sampun menawi kersane makaten.” Ya sudah kalau maunya begitu.

Eyang Kakung adalah seorang guru. “Guru jaman baheula. Jaman kuno,” kata ibu memberi tahu.

Pernah suatu hari saya bertanya, kenapa beliau dipanggil Eyang Guru oleh semua cucunya. Dan juga oleh banyak anak di desa.
Saya bertanya, karena tak sekali pun pernah melihat keberangkatan Eyang kakung ke sekolah, mengajar. Sejak kecil, saya tahu ia sudah di rumah. Ternyata sudah pensiun, entahlah, tak juga saya diberitahu kapan beliau mulai purna tugas.

Sejauh yang saya tahu, pada KTP yang pernah saya temukan, beliau terlahir tahun 1901. “O, ternyata seumuran dengan Bung Karno,” saya hanya bergumam. Pasti sebelum saya lahir, beliau sudah pensiuan.

***
Serombongan keluar dari halaman Kantor Pos dan Giro. Sebelas kilo jarak yang mesti mereka tempuh menuju ke tempat itu. Berdesakan dalam angkutan pedesaan yang jumlah armadanya masih sedikit. Bukan segelintir orang yang datang, tapi ratusan. Maka tak ayal, makin pagi berangkat, makin baik. Dan, Eyang kakung secara bersamaan merelakan dengan cara itu. Menunggu sampai kantor buka. Duduk di halaman gedung bersama banyak orang. Merasakan, senasib sepenanggungan. Sesama pensiunan.

Urusan sudah selesai.

Lima orang itu, berjalan melintasi jalan raya di depan pasar yang ramai itu. Sekitar satu lapangan bola dari Kantor Pos dan Giro tadi. Arahnya ke stanplat, tempat mangkal angkutan pedesaan. Eyang kakung adalah tertua dari lima berombongan siang itu. Ia sedikit berjalan di belakang dari mereka.

Namun, seseorang dengan cepat datang mendekat. Muda, berambut gondrong. Dari arah belakang menarik tas. Tampaknya ia tahu mereka para pensiunan. Tanggal satu: “nyadong”, mengambil uang. Suasana tanggal muda selalu terasa berbeda dari biasanya.

Tersentak. Eyang tersungkur, terbawa tarikan kuat orang tadi. Ia berusaha mempertahankan miliknya. Ia pertahankan sekuatnya. Tapi ia lupa dengan kerentaan yang sudah menggerogotinya. Ia terseret di atas hamparan aspal kasar. Lecet dan terluka, lengan panjang kemejanya sobek.

Sontak, keempat orang yang sedikit mendului tadi, bergerak. Tapi mengejar penjambret itu, seperti mengejar celeng. Percuma. Mereka sudah tua. Hanya berteriak. “Jambreeeeeet…!”

Tas masih bisa diselamatkan, walau talinya putus. Uang pensiun aman. Si jambret tunggang langgang menghindar dari kejaran massa.

***
Bukan jumlah uang yang dipertahankan. Tapi nilai tersembunyi dibalik perjalanannya sebagai guru, yang menyebabkan ia reflek untuk sekuat tenaga mempertahankannya.

“Uang itu untuk menghargai ibumu,” ujarnya saat ibu saya menanyakan padanya: kenapa sampai harus bertarung dengan jambret.

Eyang Kakung, pada jaman perang kemerdekaan sudah menjadi guru. Tak tahu dari mana ilmunya. Semasa itu, ia sudah menguasai tiga tulisan: Latin, Arab dan aksara Jawa.

Guru Angka Loro. Beliau terkenal dengan sebutan itu, artinya ia mengajar untuk kelas dua Sekorah Rakyat: setingkat SD. Ia jadikan bale: ruang depan rumahnya, sebagai ruang kelas. Bukan sekedar anak dari satu desa yang datang, yang dari luar desa pun bersekolah di situ. Menjadi muridnya.

Belum ada gaji yang diterima setiap bulan. Negara masih kesulitan karena tengah menghadapi perang dan pemberontakan. Dan, untuk menopang kehidupannya, Eyang Putrilah yang membantu, dengan membuka warung nasi. Selain hasil panen dari sawah yang mereka miliki.

Kegiatan belajar kadang kala harus terhenti. Agresi Belanda, Desember 1948 membuat semua tidak aman. Mengungsi ke daerah pegunungan adalah pilihan yang harus dilakukan. Dan, setelah reda, mereka baru bisa melanjutkan kembali.

“Uang itu sepenuhnya hak ibumu. Jadi Rama berusaha pertahankan. Semua orang akan bertindak begitu ketika haknya direbut orang seenaknya!”

Kamu masih ingat dulu kan, ibumu buka warung, sedang Rama mengajar. Kamu sesekali membantu juga. Bapakmu melakoni menjadi guru karena ada ilmu yang bisa dibagi, ujarnya. Mau mikir gaji bagaimana, wong negara masih belum mapan. Jadi pengorbanan ibumu merelakan suaminya mengajar itu yang Ramamu hargai.  Makanya waktu tas itu dijambret, yang kepikir seketika itu malah ibumu, tegasnya.

“Bukankah itu membahayakan Rama sendiri?”

Eyang Kakung menghisap lintingan tembakau. Sedikit terbatuk hal yang biasa. Tanda sudah usia lanjut.

“Setelah kejadian, Rama menyadari… itu membahayakan!” Ia mendadak bersin keras, kemudian melanjutkan.“Tapi waktu kejadian, ndak kepikiran sama sekali. Yang penting melawan!"

"Laki-laki masak diam saja!”

“Apa yang Rama pikirkan setelah kejadian ini,” Ibu saya melanjutkan tanyanya.

Eyang Kakung tidak memberikan jawaban sama sekali. Ibu saya pun tidak menunggu jawaban seketika itu juga. Dibiarkanlah itu berlalu, biarlah orang tua itu yang memutuskan.

Peristiwa itu telah mengundang banyak orang tua datang ke rumah. Dari sesama pensiunan maupun bukan.

Sampai akhirnya Eyang mengatakan di hadapan Eyang Putri dan anak-anaknya,”Ya, sudah. Mulai bulan depan Ning yang ambil pensiunannya.” Ning adalah anak bungsu Eyang Kakung.

Bagi Eyang Kakung, kejadian itu sebuah teguran. Gusti Allah punya cara sendiri untuk mengingatkannya, setelah membandel jika diingatkan, akunya.

Rama sudah ndak  pantes pergi jauh sendirian. Sudah harus tahu diri. Kalau mengejar keinginan, rasanya pergi ramai-ramai bareng orang pensiunan itu menyenangkan."

"Tapi, Rama lupa, awake wis loyo.” Tubuhnya sudah loyo.

 

 

 

Catatan:

Rama adalah panggilan untuk Bapak/ Ayah, yang biasa dipakai dalam masyarakat Jawa dahulu untuk lebih memberi rasa hormat.

 

______ Bumi Cahyana, 2 Desember 2015

 

Gambar: lakonhidup.wordpress.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun