Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eyang Kakung

2 Desember 2015   09:00 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:17 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah beberapa kali, Eyang Kakung diminta untuk tidak berangkat sendiri mengambil uang pensiunan.
“Rama kan sudah sepuh. Biar diwakilkan saja,” bujuk Eyang Putri pada suatu ketika.
“Wong, masih bisa jalan. Kenapa dilarang!,” jawabnya cetar.

Karena tidak digubris, Eyang Putri sudah enggan lagi menasehati. Maka, anak-anaknya pun sejurus dengannya, merelakan Bapaknya pergi sendiri.

“Kan, Rama berangkat bareng. Sesama pensiunan. Kenapa mesti khawatir?”

Setelah Eyang Kakung memberi sanggahan, ibu saya bersikap sama. “Nggih sampun menawi kersane makaten.” Ya sudah kalau maunya begitu.

Eyang Kakung adalah seorang guru. “Guru jaman baheula. Jaman kuno,” kata ibu memberi tahu.

Pernah suatu hari saya bertanya, kenapa beliau dipanggil Eyang Guru oleh semua cucunya. Dan juga oleh banyak anak di desa.
Saya bertanya, karena tak sekali pun pernah melihat keberangkatan Eyang kakung ke sekolah, mengajar. Sejak kecil, saya tahu ia sudah di rumah. Ternyata sudah pensiun, entahlah, tak juga saya diberitahu kapan beliau mulai purna tugas.

Sejauh yang saya tahu, pada KTP yang pernah saya temukan, beliau terlahir tahun 1901. “O, ternyata seumuran dengan Bung Karno,” saya hanya bergumam. Pasti sebelum saya lahir, beliau sudah pensiuan.

***
Serombongan keluar dari halaman Kantor Pos dan Giro. Sebelas kilo jarak yang mesti mereka tempuh menuju ke tempat itu. Berdesakan dalam angkutan pedesaan yang jumlah armadanya masih sedikit. Bukan segelintir orang yang datang, tapi ratusan. Maka tak ayal, makin pagi berangkat, makin baik. Dan, Eyang kakung secara bersamaan merelakan dengan cara itu. Menunggu sampai kantor buka. Duduk di halaman gedung bersama banyak orang. Merasakan, senasib sepenanggungan. Sesama pensiunan.

Urusan sudah selesai.

Lima orang itu, berjalan melintasi jalan raya di depan pasar yang ramai itu. Sekitar satu lapangan bola dari Kantor Pos dan Giro tadi. Arahnya ke stanplat, tempat mangkal angkutan pedesaan. Eyang kakung adalah tertua dari lima berombongan siang itu. Ia sedikit berjalan di belakang dari mereka.

Namun, seseorang dengan cepat datang mendekat. Muda, berambut gondrong. Dari arah belakang menarik tas. Tampaknya ia tahu mereka para pensiunan. Tanggal satu: “nyadong”, mengambil uang. Suasana tanggal muda selalu terasa berbeda dari biasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun