Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mantri Pasar

19 November 2015   08:02 Diperbarui: 19 November 2015   12:45 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beliau berucap lirih di atas pembaringan. Pada sebuah dipan berkasur kapuk randu yang di atasnya tergelar sprei putih polos. Hanya kami berdua, pada siang yang belum terasa panas.  Dan aku dudukan pantatku pada  kursi kayu di samping tempat tidur Bapakku itu.

“Ternyata, diamnya Bapakmu selama ini salah,” Bapak mulai bicara.

Aku hanya memandangnya. Pada wajah penuh kerutan. Pipi yang kempot karena hampir semua giginya sudah tanggal. Rambutnya memutih dan hanya tersisa sekitar tiga mili, karena belum lama dicukur plontos.

“Tentang apa?” Sedikit pun aku belum tahu arah percakapan Bapakku.

Bapak lantas menempelkan telunjuk kiri menutup sebagian lubang hidungnya, menggerakkan ke kiri dan kanan, seperti tengah menghilangkan rasa gatal yang menganggu.

“Kamu anak terakhir, dan laki-laki satu-satunya. Maka Bapak menganggap ini perlu disampaikan. Karena kamu juga sebagai kepala keluarga, bisa belajar dari pengalaman Bapak.”

Ia menggerakkan tubuhnya ke atas, agar kepalanya menjadi tinggi dari semula. Tapi, ia minta kepadaku, menambahkan satu bantal lagi yang agak tipis. Satu bantal, masih kurang tinggi, ternyata.

Beliau melanjutkan. “Kamu pasti tahu, tentang masalah yang dulu Bapakmu alami, yang akhirnya membuat ibumu sakit-sakitan.”

Aku mengangguk. Sekarang baru paham, Bapak akan bicara tentang peristiwa yang menimpanya, puluhan tahun silam.

***
Memang, Bapak akhirnya memutuskan mengundurkan diri sebagai Mantri Pasar. Satu jabatan sekelas kepala adminstrasi. .
Ada kasus yang mengemuka, ketika Pak Carik Darmin mengatakan ada penyimpangan dana pasar untuk kepentingan pribadi. 

“Kenapa Pak Carik Darmin bertindak seperti itu?” Bertanya aku. Lantas, Bapak tersenyum seperlunya.

“Carik pada umumnya lebih pintar dari Lurah. Lebih mengerti banyak urusan tetek bengek pemerintahan desa dan juga urusan admistrasi.  Lurah Karjo dan Carik Darmin, punya kepentingan pribadi tentang keuangan desa, khususnya pemasukan kas desa dari pendapatan Pasar. Maka mereka sering berseberangan.”

“Dan, Pak Lurah Karjo lebih kuat?” aku menyela.

Bapak mengangguk. “Karena jabatannya, Beliau kuat.”

Repotnya, lanjut Bapakku,  Carik Darmin membeberkan semua ini setelah Lurah Karjo menjadi mantan. Tidak sedari awal, saat dia tahu adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Aku masih menunggu, penjelasan keterlibatan Bapak.

***
Setelah terpilih sebagai Lurah, Pak Karjo memberi bentuk terimakasih kepada Bapakku, sebuah jabatan kecil. “Itu sebagai balas jasa, karena Bapakmu pendukung setia Pak Karjo. Siang atau malam, Bapak berusaha menghimpun kekuatan, agar suara warga desa tertuju padanya. Itu berhasil.”

Kami sekeluarga merasakan, jabatan Mantri Pasar memberi dampak bagi keluarga. Setiap hari menu makanan kami cukup memadai. Tidak melulu tempe atau tahu. Sayur bayam atau kangkung. Sekali waktu ada ikan asin, telur asin dan daging kambing.

Kata ibu, para pedagang sering memberi. “Kagem Pak Mantri.” Untuk Bapakku.

Setidaknya, dengan begitu, ibu bisa menghemat pengeluaran untuk belanja rutin. Cerita dari ibu, dari menyisihkan uang itu, anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah ke kota. Sesuatu yang berat untuk dilakukan oleh orang desa waktu itu.  Ibu punya keinginan kuat, anaknya jangan cuma lulus SD.

“Bagaimana Bapak bisa terseret dengan kasus ini,” Aku tak sabar untuk segera mendengarkan.

Ia menatap ke arahku, kemudian mengucek lembut mata kanannya, yang bulu-bulunya sudah memutih itu.

“Beberap bulan semenjak Bapak menjadi Mantri Pasar, Bapak merasa nyaman bekerja. Semua pemasukan keuangan tertulis lengkap. Dilaporkan setiap bulan. Dan, Lurah Karjo senang dengan pengelolaan Pasar Manis.”

Tampaknya Bapak berbicara dengan pikiran yang melayang, membayangkan suasana Pasar Manis pada awal tahun tujuh puluhan. Pasar yang menjadi pusat perdagangan, tempat berkumpulnya ratusan orang dari belasan desa.

Aku kecil merasakan, betapa ramainya Pasar Manis, utamanya pada hari pasaran manis. Semua jenis dagangan tumpah ruah. Tak mengherankan, di luar pasar pun pedagang berjejal menggelar lapak hingga ke tepi jalan raya.

Aku melihat, Bapak berjalan dari satu sudut ke sudut pasar. Mengatur. Memecahkan masalah, seperti saat ada percecokan antar pengunjung. Berkeliling, berbincang sebentar dengan para pedagang. Bersama dua anak buahnya, mereka memberi karcis retribusi pasar, dan kemudian menerima sejumlah uang dengan jumlah tertentu, tergantung luas los atau lapak.

Aku dan beberapa teman sering ke pasar, terutama pada hari minggu manis. Begitulah cara anak desa mengisi liburan. Mendatangi seorang pedagang obat di bawah naungan tenda putih terbentang, yang empat sudutnya terikat tali. Di tengahnya ada satu tiang penyangga. Menjadikan tenda mengerucut dan terlihat tinggi.

Haji Effendi, pria asli Cirebon adalah penjual obat yang pandai bermain sulap. Kami memanggilnya: Pak Pendi. Sulap yang biasa disuguhkan sederhana, mengeluarkan bola pingpong dari mulut dan dimasukkan ke kantong hitam. Semua pengunjung yang berjejel mengelilingnya terpukau. Kami, anak-anak menonton sambil menampik lalat yang berulangkali hinggap di wajah. Maklum, kami ke pasar belum mandi, apalagi gosok gigi.  Sekedar cuci muka, itu sudah cukup.

***
Suatu hari, Pak Lurah Karjo meminta Bapakku, mendatangi rumahnya.  Penting, pesannya.

“Pak Mantri, tolong sisihkan pendapatan pasar untuk keperluan rutin saya. Buat saja laporan keuangan setelah pemotongan itu,” Berkata Lurah Karjo.

Bapakku terdiam sejenak. Berpikir. “Wah, nggak berani Pak Lurah”

Lelaki enam puluh lima tahun itu menyandarkan punggungnya pada kursi beranyam rotan setelah mendengar jawaban Bapakku.

“Selaku lurah, aku yang tanggung jawab kalau ada apa-apa. Ini untuk kepentingan warga juga”
“Kenapa tidak dirembug dulu dengan para pamong desa?”
Lurah Karjo menghela nafas. “Pak Mantri, seperti tidak tahu saja. Semua akan sia-sia. Pak Carik Darmin pasti orang yang pertama kali nggak setuju!"

Bapakku paham dengan alasan itu. Tapi dana pasar itu untuk apa? Bapakku menanyakan itu, tanpa rasa risih. Baginya itu penting untuk diketahui.

“Untuk keperluan warga kita Pak Mantri,” jelas Lurah Karjo. “Banyak orang datang padaku, minta bantuan untuk berobat. Belum urusan yang lain.  Masak sebagai lurah nggak bisa bantu. Dan Pak Mantri tahu kan, berapa hasil dari sawah bengkok. Itu kalau nggak diserang hama. Jadi dana itu bukan untuk perutku.”

Bapakku serba tidak enak setelah mendengar alasan kemanusiaan itu. Tapi kenyataannya begitu, berobat masih sulit, harus ke kota. Dan sebagai lurah, ada tanggung jawab untuk membantu mereka.

Aku bertanya pada Bapakku,”Dan akhirnya Bapak setuju?” Beliau mengangguk.

Sekian lama, sepanjang kepemimpinan Lurah karjo, alokasi dana pasar yang masuk ke pribadi Pak Lurah tidak ada yang mengusik-usik. Setidaknya, itu membuat Bapakku menjadi aman dan tetap mau bertahan sebagai Mantri Pasar.

***
Namun setelah Lurah Karjo selesai menjalankan jabatan, beberapa bulan kemudian isu penyimpangan dana pasar mulai bergulir. Bapakku mulai merasakan aroma yang tidak baik untuk dirinya. Ia membicarakan hal itu pada ibu. “Harus dicari dulu penyebar berita itu.”

Ibuku sudah merasa malu, karena isu itu akan menyeret suaminya. Posisinya sebagai Mantri Pasar sangat berpeluang untuk dikait-kaitkan.

Akhirnya Bapakku tahu, sumber isu itu Pak Carik Darmin.  Ia membicarakan hal ini dengan ibu, memutuskan untuk mengundurkan diri saja.  Suara-suara yang merebak di desa tentang kasus ini, sangat membuat keluarga kami tidak tenang.

Bertepatan dengan berkembangnya kasus dana pasar, mantan Lurah Karjo jatuh sakit. Ini sama sekali tidak terkait dengan hal itu. Sakit paru-parunya sudah parah.  Itu menjadi alasan dia tak mau lagi maju dalam pencalonan lurah.  Akhirnya ia meninggal di rumah sakit daerah, setelah rawat inap selama hampir setengah bulan.

“Apakah antara Bapak dan Pak Carik Darmin ada permasalahan pribadi?” Tanyaku lagi.

“Tidak ada. Sasarannya untuk menyudutkan Pak Karjo. Pak Mantan itu!”

Aku terdiam, kemudian menoleh ke jendela. Matahari sudah mulai meninggi.

“Pak Carik Darmin punya dendam,” jelas Bapakku.

Setelah tiga bulan menerima laporan keuangan Pasar Manis dari Bapakku, Lurah karjo membandingkan dengan pendapatan yang diperoleh sebelum ia menjadi Lurah.

“Kenapa selisihnya jauh berbeda dengan sekarang?” Bertanya Pak Lurah Karjo di ruang kerjanya. Mereka hanya berdua dengan Pak Carik Darmin.

Wajahnya memerah.  Pak Carik Darmin sama sekali tidak suka dengan pertanyaan itu. Ia jawab seenaknya. “Dapatnya sebesar itu, ya ditulis seperti itu!”

Lurah Karjo melihat ada kejanggalan-kejanggalan dengan hasil perbandingan itu. Tapi tidak ada jawaban yang memuaskan. Pamong desa lainnya pun enggan bicara. “Saya nggak tahu-menahu soal itu, Pak Lurah.”

Semenjak itu, hubungan kedua pamong desa itu terlihat dingin. Ada ganjalan di antara mereka. 

Apa mau dikata, Bapakku akhirnya mengambil alih tanggung jawab itu. Ia bersedia mengganti rugi semampunya. Pikirnya, tidak mungkin menyalahkan, apalagi menyudutkan mantan Lurah Karjo yang sudah meninggal.

“Mikul dhuwur mendhem jero” Demikian alasan Bapakku.

“Bukankah itu merugikan Bapak sendiri?”

Beliau menggangguk. Itu risiko sebuah pilihan, ujarnya. Sampai akhirnya, tanah warisan dari orang tua dijual untuk menutup kasus ini. Ibu sangat terguncang kehilangan tanahnya. Mulailah dia sakit-sakitan.

***
“Bapak iklas dengan kejadian itu. Bapak tak peduli dengan tanah yang harus dijual. Yang penting urusan selesai, tidak berlarut-larut. Bapak tidak mau masuk penjara.  Kalian masih belia.  Bagaimana dengan ibumu nanti. Itu yang jadi pertimbangan. Bapak yakin, kamu tidak setuju dengan cara itu. Tapi waktu itu, tidak ada pilihan yang lebih baik. Kamu harus mengerti itu!”

Aku hanya sedikit mengangguk.  Beliau melanjutkan, setelah kerongkongannya ia basahi dengan menelan air ludah.  Jakunnya tampak jelas bergerak.  Dan, urat-urat di leher menunjukkan perjalanan hidupnya yang panjang.

“Carik Darmin merasa tersinggung dengan keingintahuan Lurah Karjo terhadap laporan keuangan Pasar Manis. Ia merasa kemapanannya sedang diusik oleh pemimpin baru. Dan dia enggan menerima cara seperti itu.”

Aku akhirnya ingin tahu, kenapa hal itu ditanyakan ke Pak Carik Darmin?

Bapak menatapku dengan mata yang mulai mengantuk.

“Pak Darmin itu memang Carik, tapi dia juga merangkap jabatan sebagai Mantri Pasar”

Setelah itu, Bapakku perlahan memejamkan mata. Tak lama kemudian tertidur dan lupa dengan anaknya yang sedari tadi diajak bicara.

 

 

_____ Bumi Cahyana, 18 November 2015.

 

Catatan:

Carik adalah jabatan dalam pemerintahan desa, sekarang disebut  Sekretaris Desa.

 

Ilustrasi: pasarsorekaliwungu.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun