“Carik pada umumnya lebih pintar dari Lurah. Lebih mengerti banyak urusan tetek bengek pemerintahan desa dan juga urusan admistrasi. Lurah Karjo dan Carik Darmin, punya kepentingan pribadi tentang keuangan desa, khususnya pemasukan kas desa dari pendapatan Pasar. Maka mereka sering berseberangan.”
“Dan, Pak Lurah Karjo lebih kuat?” aku menyela.
Bapak mengangguk. “Karena jabatannya, Beliau kuat.”
Repotnya, lanjut Bapakku, Carik Darmin membeberkan semua ini setelah Lurah Karjo menjadi mantan. Tidak sedari awal, saat dia tahu adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Aku masih menunggu, penjelasan keterlibatan Bapak.
***
Setelah terpilih sebagai Lurah, Pak Karjo memberi bentuk terimakasih kepada Bapakku, sebuah jabatan kecil. “Itu sebagai balas jasa, karena Bapakmu pendukung setia Pak Karjo. Siang atau malam, Bapak berusaha menghimpun kekuatan, agar suara warga desa tertuju padanya. Itu berhasil.”
Kami sekeluarga merasakan, jabatan Mantri Pasar memberi dampak bagi keluarga. Setiap hari menu makanan kami cukup memadai. Tidak melulu tempe atau tahu. Sayur bayam atau kangkung. Sekali waktu ada ikan asin, telur asin dan daging kambing.
Kata ibu, para pedagang sering memberi. “Kagem Pak Mantri.” Untuk Bapakku.
Setidaknya, dengan begitu, ibu bisa menghemat pengeluaran untuk belanja rutin. Cerita dari ibu, dari menyisihkan uang itu, anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah ke kota. Sesuatu yang berat untuk dilakukan oleh orang desa waktu itu. Ibu punya keinginan kuat, anaknya jangan cuma lulus SD.
“Bagaimana Bapak bisa terseret dengan kasus ini,” Aku tak sabar untuk segera mendengarkan.
Ia menatap ke arahku, kemudian mengucek lembut mata kanannya, yang bulu-bulunya sudah memutih itu.