Bapakku paham dengan alasan itu. Tapi dana pasar itu untuk apa? Bapakku menanyakan itu, tanpa rasa risih. Baginya itu penting untuk diketahui.
“Untuk keperluan warga kita Pak Mantri,” jelas Lurah Karjo. “Banyak orang datang padaku, minta bantuan untuk berobat. Belum urusan yang lain. Masak sebagai lurah nggak bisa bantu. Dan Pak Mantri tahu kan, berapa hasil dari sawah bengkok. Itu kalau nggak diserang hama. Jadi dana itu bukan untuk perutku.”
Bapakku serba tidak enak setelah mendengar alasan kemanusiaan itu. Tapi kenyataannya begitu, berobat masih sulit, harus ke kota. Dan sebagai lurah, ada tanggung jawab untuk membantu mereka.
Aku bertanya pada Bapakku,”Dan akhirnya Bapak setuju?” Beliau mengangguk.
Sekian lama, sepanjang kepemimpinan Lurah karjo, alokasi dana pasar yang masuk ke pribadi Pak Lurah tidak ada yang mengusik-usik. Setidaknya, itu membuat Bapakku menjadi aman dan tetap mau bertahan sebagai Mantri Pasar.
***
Namun setelah Lurah Karjo selesai menjalankan jabatan, beberapa bulan kemudian isu penyimpangan dana pasar mulai bergulir. Bapakku mulai merasakan aroma yang tidak baik untuk dirinya. Ia membicarakan hal itu pada ibu. “Harus dicari dulu penyebar berita itu.”
Ibuku sudah merasa malu, karena isu itu akan menyeret suaminya. Posisinya sebagai Mantri Pasar sangat berpeluang untuk dikait-kaitkan.
Akhirnya Bapakku tahu, sumber isu itu Pak Carik Darmin. Ia membicarakan hal ini dengan ibu, memutuskan untuk mengundurkan diri saja. Suara-suara yang merebak di desa tentang kasus ini, sangat membuat keluarga kami tidak tenang.
Bertepatan dengan berkembangnya kasus dana pasar, mantan Lurah Karjo jatuh sakit. Ini sama sekali tidak terkait dengan hal itu. Sakit paru-parunya sudah parah. Itu menjadi alasan dia tak mau lagi maju dalam pencalonan lurah. Akhirnya ia meninggal di rumah sakit daerah, setelah rawat inap selama hampir setengah bulan.
“Apakah antara Bapak dan Pak Carik Darmin ada permasalahan pribadi?” Tanyaku lagi.
“Tidak ada. Sasarannya untuk menyudutkan Pak Karjo. Pak Mantan itu!”