“Beberap bulan semenjak Bapak menjadi Mantri Pasar, Bapak merasa nyaman bekerja. Semua pemasukan keuangan tertulis lengkap. Dilaporkan setiap bulan. Dan, Lurah Karjo senang dengan pengelolaan Pasar Manis.”
Tampaknya Bapak berbicara dengan pikiran yang melayang, membayangkan suasana Pasar Manis pada awal tahun tujuh puluhan. Pasar yang menjadi pusat perdagangan, tempat berkumpulnya ratusan orang dari belasan desa.
Aku kecil merasakan, betapa ramainya Pasar Manis, utamanya pada hari pasaran manis. Semua jenis dagangan tumpah ruah. Tak mengherankan, di luar pasar pun pedagang berjejal menggelar lapak hingga ke tepi jalan raya.
Aku melihat, Bapak berjalan dari satu sudut ke sudut pasar. Mengatur. Memecahkan masalah, seperti saat ada percecokan antar pengunjung. Berkeliling, berbincang sebentar dengan para pedagang. Bersama dua anak buahnya, mereka memberi karcis retribusi pasar, dan kemudian menerima sejumlah uang dengan jumlah tertentu, tergantung luas los atau lapak.
Aku dan beberapa teman sering ke pasar, terutama pada hari minggu manis. Begitulah cara anak desa mengisi liburan. Mendatangi seorang pedagang obat di bawah naungan tenda putih terbentang, yang empat sudutnya terikat tali. Di tengahnya ada satu tiang penyangga. Menjadikan tenda mengerucut dan terlihat tinggi.
Haji Effendi, pria asli Cirebon adalah penjual obat yang pandai bermain sulap. Kami memanggilnya: Pak Pendi. Sulap yang biasa disuguhkan sederhana, mengeluarkan bola pingpong dari mulut dan dimasukkan ke kantong hitam. Semua pengunjung yang berjejel mengelilingnya terpukau. Kami, anak-anak menonton sambil menampik lalat yang berulangkali hinggap di wajah. Maklum, kami ke pasar belum mandi, apalagi gosok gigi. Sekedar cuci muka, itu sudah cukup.
***
Suatu hari, Pak Lurah Karjo meminta Bapakku, mendatangi rumahnya. Penting, pesannya.
“Pak Mantri, tolong sisihkan pendapatan pasar untuk keperluan rutin saya. Buat saja laporan keuangan setelah pemotongan itu,” Berkata Lurah Karjo.
Bapakku terdiam sejenak. Berpikir. “Wah, nggak berani Pak Lurah”
Lelaki enam puluh lima tahun itu menyandarkan punggungnya pada kursi beranyam rotan setelah mendengar jawaban Bapakku.
“Selaku lurah, aku yang tanggung jawab kalau ada apa-apa. Ini untuk kepentingan warga juga”
“Kenapa tidak dirembug dulu dengan para pamong desa?”
Lurah Karjo menghela nafas. “Pak Mantri, seperti tidak tahu saja. Semua akan sia-sia. Pak Carik Darmin pasti orang yang pertama kali nggak setuju!"