Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Balada Sebuah Sapu Lidi

11 Agustus 2015   13:23 Diperbarui: 11 Agustus 2015   13:23 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jeng Sutinah?"

Oh, gila.  Gelagah memprovokasi Tuanku dengan permainan kotornya.  Mana mungkin aku berani mencintai bidadari Tuanku.  Biarpun Jeng Sutinah itu perawan tua, tapi aku tahu diri.

"Aku tak mau dituduh kere munggah bale.  Si miskin yang menapaki istana. Si pungguk yang merindukan bulan.   Apalagi ejekan beauty and the beast"

Tidak ada yang bisa aku lakukan menghadapi semua ini.  Gelagah memang warga kesayangan Tuanku. Ini penilaianku.  Ia dikasih tempat yang enak, bersih.  Sewaktu-waktu bisa nonton sinetron, berita dan hiburan lain.  Sedangkan aku dan Ijuk cuma samar-samar dari kejauhan menikmati televisi.

Hari ini menjadi puncak ketidaksukaan Tuan padaku.  Ia ambil aku saat istirahat.  Aku diangkat kemudian ia bergerak cepat mendekati pohon mangga samping rumah.  Aku dipukul-pukulkan ke kulit pohon itu.  Dihantamkan pada semut merah yang bergerak tak jelas arah.  Ratusan jumlahnya.  Hingga hewan itu kehilangan nyawa dan terjatuh.

Dari kejauhan Ijuk sedih.  Menangis sejadi-jadinya.  Ia tak tega, kekasihnya menjadi bulan-bulanan Tuannya.  Tapi apa mau dikata, aku tak kuasa melepas diri.  Kapal tangan tuanku keras.  Genggamannya kuat dan mencekik. Aku hampir tak sadarkan diri dibuatnya.

Selesai? Belum.  Aku dilempar ke tumpukan batu samping rumah.  Dan ia pergi dengan begitu saja seperti tanpa dosa.

Aku tarik nafas dalam-dalam.  Aku tahan rasa pegal-pegal yang ada di sekujur tubuhku. Aku membisu, menahan erangan agar tak terdengar oleh Ijuk.  Kegagahanku, kejantananku harus aku tunjukkan pada kekasihku, belahan jiwa. 

Dikejauhan, Gelagah tersenyum.  Mulut busuknya telah meracuni nalar sehat Tuanku.  Hingga ia tidak sedikit pun memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan.  Bicara empat mata.  Dari hati ke hati. Tidak begitu saja menelan mentah-mentah ucapan yang tidak berdasar.  Perlu mendengar pihak lain.  Itu yang aku harapkan.

Kini, aku melihat Tuanku tengah membakar tumpukan plastik.  Asapnya terlihat membumbung.  Nyala apinya melebihi lutut tuanku.

"Astaga, Tuan mendekatiku"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun