Aku lega. Aku bisa keluar dari tempat yang sumpek dan menjenuhkan.  Sekian lama menumpuk tak tersentuh. Mengganggur. Tak enak, tidak berfungsi. Tidak ada nilai diri.Â
"Selisih delapan ribu itu nggak bakalan jadi daging. Malah jadi selilit" kata Tuan baruku saat diperjalanan pulang membawaku.
Sejak itulah, aku menjadi bagian keluarganya. Aku iklas saja, walau ditempatkan di luar rumah. Tak peduli dengan cuaca dingin dan panas. Yang penting aku sekarang punya status yang membanggakan. Menjadi tangan kanan Tuanku, anggota pasukan oranye.
Di rumah, ada anggota keluarga yang dekat denganku. Si Ijuk. Ia ditempatkan di ruang belakang. Kami sering bertemu dan bertegur sapa. Lama-lama, ada benih cinta juga di antara kami. Sering kami dipisahkan oleh Tuanku. Tapi, tak jarang kami bisa bersandar bersama di sudut rumah. Oh, asiknya.
Ijuk diam-diam sering mengintip saat aku dimandikan oleh Tuan. Aku pura-pura tidak memperhatikan hal ini. Padahal, aku bukan main senangnya. Aku akhirnya tanya ke Ijuk,"Kenapa suka mengintip aku mandi?"
Ia cuma geleng-geleng kepala. Tanda tak mau terus terang.Â
Aku paksa terus, akhirnya ia buka suara. "Punyamu panjang dan kuat. Pantas Tuan pilih untuk dibawa kerja ke luar rumah"
Setidaknya aku merasa gagah seketika.  Aku tak mau sia-siakan keterbukaan ini.Â
"Kamu pun memikat banget. Punyamu lembut dan lebat. Lebar dan rapi. Pantas Tuan memilih kamu ditempatkan di ruang ini".
Dia tersipu-sipu. Menunduk malu. Tapi aku pura-pura tak tahu.
Kecintaanku pada si Ijuk mulai memicu benih ketidaksukaan warga lain. Si Gelagah. Ia tempatnya di ruang depan. Tapi sesekali ia ke ruang tengah. Sering pula bertemu Ijuk. Tapi menurut si Ijuk, dirinya tak punya rasa apapun pada Gelagah. Â