Aku memakan sepiring nasi dan semangkuk soto kudus di depanku dengan lahap. Ya, warung soto kudus ini adalah langgananku. Aku suka kuahnya yang bersari itu – kaldunya mantap. Daging ayam yang disuwir-suwir itu begitu empuk dan gurih. Soto ini rasanya pun ‘lebih netral’ dibandingkan dengan aslinya yang ada di Kudus. Menurutku, soto yang dijajakan di daerah asalnya itu terlalu manis. Aku pun lebih suka makan nasi yang dipisah ketimbang dicampur dengan sotonya.
Setelah seharian melakukan otopsi pada mayat korban pembunuhan, aku merasa betul-betul lapar. Aku begitu serius dengan apa yang kulakukan sehingga tidak menyadari kalau sudah lewat jam makan malam. Ya, hanya aku yang belum makan malam, sementara rekan-rekanku yang lain sudah, beberapa di antaranya malah ada yang membawa bekal dari rumah – termasuk dokter Panji, dosen kami.
Kondisi mayat itu sebenarnya sangat mengerikan. Kulit mukanya dikelupas, begitu juga dengan kulit di jari-jari tangannya di bagian seharusnya sidik jari itu bertempat. Sepertinya puluhan tahun yang lalu pernah ada korban pembunuhan seperti ini dan saat itu memang menyulitkan untuk mengetahui identitas si korban. Tetapi sekarang kan kita sudah bisa melakukan tes DNA, jadi kehilangan profil wajah ataupun sidik jari bukanlah kendala. Hanya saja memang kita perlu mendapatkan sampel DNA dari keluarga korban – dan ini yang menjadi masalah selama korban belum bisa diketahui identitasnya berdasarkan ciri-ciri fisik yang ada. Mayat itu juga memiliki tato bergambar hati berwarna merah muda di punggung lengan kanannya. Tetapi keberadaan sebuah tato bukanlah jaminan sebuah identitas. Bisa saja waktu si korban meninggalkan keluarga dan tempat asalnya, dia belum memiliki tato. Bukankah membuta tato itu masalah yang gampang?
Dari hasil penelitian sementara atas kondisi mayat itu, lehernya seperti terluka ada bekas jeratan atau ikatan. Di dalam mulutnya, maksudku di sela-sela giginya banyak ditemukan remah-remah bawang putih goreng. Kesimpulannya: dia belum sempat gosok gigi ketika dibunuh. Hahaha. Itu hanyalah canda kami semua saat menemukan remah-remah bawang putih goreng itu dalam mulutnya.
Ah, aku sudah merasa kenyang. Kuhirup teh manis hangat perlahan-lahan. Betul-betul nikmat. Namun di balik kenikmatan makan malamku, aku merasakan sesuatu …
Sepertinya suasana malam hari ini agak berbeda dari biasanya. Hujan gerimis dan keadaan yang begitu tenang membuatku merasa sedikit gelisah. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Jam sepuluh malam – ah masih ‘pagi’.
Tiba-tiba tampak seorang pria mendatangi warung itu dan ia lalu duduk di sampingku, padahal tempat duduk yang kosong masih banyak. Aneh banget! Ia segera memesan semangkuk soto dengan nasi yang dicampur. Ia juga meminta bawang goreng yang banyak. Bawang goreng yang dimaksud tentunya bawang putih goreng – sesuatu yang khas soto kudus.
Sebenarnya aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan orang lain atau kepo, tetapi aku memiliki rasa ingin tahu yang kuat pada segala hal yang menarik minatku. Kuperhatikan orang yang duduk di sampingku ini – tentu saja aku tidak memerhatikannya secara terang-terangan. Aku pura-pura melihat sekilas ke kiri dan ke kanan, pura-pura melihat jam yang melingkari tangan kiriku, ataupun sekadar mengambil tusuk gigi. Pengamatan sambil lalu dengan cara itu pun sudah cukup bagiku.
Orang ini … kok bau formalin?
Aku mahasiswi kriminologi yang saat ini ikut melakukan otopsi pada seorang (atau sesosok) korban pembunuhan. Sudah beberapa hari ini aku berada di sini dan sepertinya aku tahu mana yang pegawai administrasi, dokter dan perawat, polisi, ataupun pasien dan warga masyarakat lainnya. Tetapi apa yang kurasakan dari orang yang duduk di sampingku ini agak berbeda.
“Mari makan, Mbak,” kata orang di sampingku.