Bennosuke terus-menerus membuatnya terkejut.
Dua hari berlalu sejak ia bersama Bennosuke menyaksikan latihan pedang murid-murid Munisai di dojo – dengan fokus pada kemampuan empat orang murid ‘yang itu’, dan satu hari setelah Munisai mengutarakan keinginannya agar ia mau mengasuh dan mendidik Bennosuke di kuil Shoreian, tempat tinggalnya selama ini.
Kini bocah itu sudah duduk bersamanya lagi di atas batu pipih di pekarangan rumah ini. Mereka berdua biasa menghabiskan waktu sore hari di tempat ini membicarakan banyak hal di luar pelajaran tulis menulis, sejarah, ataupun ilmu pedang.
“Kamu mengintip ke dalam dojo lagi?” tanya Dorin.
Bennosuke mengangguk.
“Masih penasaran dengan empat orang ‘yang itu’?” godanya.
“Tidak,” Bennosuke menggelengkan kepalanya.
“Lalu barusan kamu ...”
“Melihat murid-murid mengepel lantai dojo. Hehehe.” Bennosuke tertawa.
Dorin memandangi Bennosuke yang sedang tertawa – seolah-olah meneliti suasana hati bocah itu yang sesungguhnya.
Pandangannya lalu terhenti pada sesuatu yang sedang digenggam Bennosuke. Benda yang baru saja dikeluarkan dari balik obi-nya.