Dorin menjadi geregetan. Wacana? Cuma sebatas wacana? Apanya yang cuma sebatas wacana?
“Kamu itu! Kamu harus mengerti dengan jelas apa itu wacana dan apa itu rencana. Kedua hal itu memiliki batas-batas yang jelas. Kalau seperti tadi pagi, itu mah masuk kategori angan-angan, bukan wacana – boro-boro rencana.”
“Ya, aku tahu, kok,” jawab Bennosuke kalem. Gerutuan Dorin sepertinya tidak memengaruhinya. Ia kembali teringat peristiwa perkelahiannya melawan Madajiro dan Fukube. Ia bisa mengalahkan mereka karena keduanya tidak bersenjata dan hanya seorang yang tidak bertindak: Madajiro. Sementara Fukube memilih untuk berdiam diri dan mengamatinya. Gerakan Madajiro semata-mata berdasarkan kebiasaan berkelahi dengan tangan kosong melawan orang yang lebih lemah darinya.
Ketika berhadapan dengan Madajiro, ada saat ketika Bennosuke merasa dirinya dalam keadaan tanpa pertahanan – walaupun hanya sekejap, satu detik atau bahkan kurang dari itu, tetapi ia merasa ada kekosongan. Ada kelengahan. Satu detik yang seharusnya bisa dimanfaatkan Madajiro seandainya saja ia … seandainya saja lawannya itu memegang pedang – tidak, tidak perlu pedang, bokken sudah cukup. Jika Madajiro menggunakan bokken, ada kemungkinan serangan Bennosuke akan mengenai tsuba (pelindung tangan – yang menjadi pembatas antara bilah pedang dan gagang pedang) dan bukan ibu jari Madajiro. Bokken bentuknya bermacam-macam, di antaranya ada yang menyerupai pedang sungguhan, memiliki bilah pedang, gagang pedang, dan dilengkapi dengan tsuba.
Jika itu yang terjadi, maka Madajiro akan langsung membalas serangannya, menebaskan bokken-nya ke arah Bennosuke yang sempat selama ‘lengah’ selama kurang dari satu detik itu.
Dan hal seperti itu yang akan terjadi seandainya aku bertarung dengan murid Ayah, satu detik itu cukup buat mereka untuk menghajarku hingga terkapar.
Bennosuke tidak mengetahui apakah yang dipikirkannya sama dengan apa yang diperkirakan oleh ayahnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Madajiro dan Fukube mengenai jalannya pertarungan, tentu Munisai bisa menilai kemampuan Bennosuke menggunakan bokken – dan apakah kemampuan anaknya itu cukup untuk menghadapi muridnya dalam suatu duel – latih tanding satu lawan satu.
Awalnya Bennosuke menganggap kemampuannya sudah memadai – kegesitannya menghindari serangan lawan, ketangkasannya mengayunkan bokken, serta keakuratannya memukul sasaran, tetapi setelah melihat latih tanding keempat murid ‘yang itu’ barusan, ia akhirnya menyadari murid-murid ayahnya bukanlah pemain pedang kacangan. Gemblengan Munisai yang keras dan tuntutan disiplin yang tinggi tentu berpengaruh pada kekuatan fisik dan kemampuan teknik murid-muridnya. Munisai bukanlah seorang yang penyabar, namun ia adalah seorang guru yang hebat. Kalau tidak berlatih dengan sungguh-sungguh pasti … keempat orang ‘yang itu’ sudah tidak ada di sini. Mereka pasti tidak tahan dengan metode latihan yang diterapkan Munisai.
Wajar saja jika Bennosuke mengaku saat ini ia belum mampu mengalahkan salah satu pun dari empat murid ayahnya ‘yang itu’. Tetapi sedikit pun ia tidak memperlihatkan rasa takut. Ia menolak bertarung bukan karena ia takut.
Dorin memerhatikan Bennosuke. Tampang kalemnya mau tak mau membuat Dorin berpikir.
Anak ini menyadari kemampuannya. Ia memutuskan untuk tidak bertarung bukan karena ia takut. Ia telah belajar mengenali dirinya dan juga mengenali musuhnya. Eh? Masa sih? Sonshi lagi?