Cuma Ayah yang bisa menandingi mereka.
Dorin sudah selesai menyiram tanaman. Ember beserta gayungnya sudah disimpan di tempatnya semula. Ia berjalan menghampiri Bennosuke yang sedang merenung itu. Seperti yang ia duga, pikiran Bennosuke masih melekat pada latihan pedangnya. Latihan yang dilakukannya sendiri tanpa bimbingan siapapun.
“Kenapa kamu tidak berlatih di dojo saja?” tanya Dorin yang kemudian duduk di samping Bennosuke.
Si bocah menggelengkan kepalanya.
“Murid-murid Ayah tidak ada yang hebat.” Bennosuke membandingkan murid-murid Munisai dengan penantang ayahnya.
“Maksudmu, Munisai itu guru yang payah?” tanya Dorin – bercanda.
Pertanyaan macam apa ini? Apa Paman mau mengadukanku ke Ayah?
Bennosuke menoleh ke arah Dorin. “Aku tidak bilang begitu,” jawabnya dengan ketus.
“Terus?” Dorin menunggu si bocah berbicara lebih lanjut.
“Aku hanya …” Bennosuke tidak bisa menjelaskannya.
Bennosuke mampu mengingat dengan jelas gerakan-gerakan penantang ayahnya.