Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Musashi: The Journey Of A Warrior & The Book Of Five Rings (7)

25 Maret 2016   20:45 Diperbarui: 3 April 2016   19:49 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bennosuke memegang bokken (pedang kayu) itu dengan kedua tangannya. Mengangkatnya ke atas hingga melewati kepalanya, lalu dengan cepat diayunkan ke depan seolah-olah ia sedang menyerang lawan yang berdiri di hadapannya. Ia lalu menghadap ke kiri dan mengulangi gerakan yang sama, kemudian ia berbalik dengan cepat ke kanan dan kembali menyerang seperti sebelumnya. Gerakannya terlihat cepat dan ayunan pedangnya kuat. Namun demikian, raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan.

Terlalu lambat!

Ia terus menggerakkan pedangnya – mengulangi kembali gerakan-gerakan tersebut, menyerang ke berbagai arah. Beberapa kali pun ia melakukannya, ia tetap terlihat tidak puas.

Mengapa sulit sekali berbalik badan dengan cepat? Dengan pedang di kedua tangan …

Dorin memerhatikan bocah itu dari kejauhan. Biksu itu saat ini sedang menyiram tanaman di sekitar pekarangan tempat Bennosuke berlatih pedang. Bocah itu baru saja selesai belajar membaca dan menulis. Matahari juga belum terlalu tinggi, baru pertengahan jam ular – sekitar jam sepuluh pagi.

Dorin tersenyum.

Bocah yang rajin dan penuh semangat!

Walaupun ia baru berusia tujuh tahun, Bennosuke terlihat jangkung untuk ukuran anak seusianya.

Saat ini dojo sedang digunakan oleh murid-murid Munisai berlatih pedang sehingga Bennosuke memilih untuk berlatih di pekarangan rumahnya. Walaupun tidak begitu luas namun cukup lapang untuk digunakan berlatih pedang seorang diri. Bennosuke memilih untuk berlatih sendiri, ia tidak ingin belajar pedang pada ayahnya.

“Aku ingin menjadi kuat, menjadi hebat, dengan caraku sendiri.” Begitu yang pernah dikatakannya kepada Dorin – dengan wajah antusias.

“Oh, ya?” Cuma itu yang dikatakan Dorin waktu itu – dengan wajah tanpa ekspresi, terkesan acuh tak acuh.

Setelah mengajari bocah tersebut membaca dan menulis selama beberapa bulan, mau tidak mau ia pun mengakui potensi yang dimiliki Bennosuke.

Bocah ini kemajuannya sangat pesat.

Bennosuke sudah menghapal lebih dari lima ratus huruf kanji. Tulisannya juga sudah semakin baik, walaupun belum bisa dibilang bagus. Bennosuke rajin belajar, tekun menulis dan menghapal huruf kanji karena Dorin berjanji akan meminjamkannya buku-buku mengenai kisah kepahlawanan, seperti Sangoku Engi (Sanguo Yanyi – kisah Tiga Kerajaan atau Samkok), Suikoden (Shui Hu Zhuan – kisah 108 pendekar), dan sebagainya. Tentunya dalam versi yang lebih ringkas, karena  sepertinya masih memerlukan waktu beberapa tahun lagi bagi Bennosuke hingga ia benar-benar mahir membaca dan bisa memahami isi buku tersebut. Selama ini, ia hanya mengetahui kisah kepahlawanan tokoh-tokoh dalam Sangoku Engi dan Suikoden tersebut secara lisan – berdasarkan apa yang diceritakan Dorin.

Dorin memerhatikan kalau Bennosuke juga sudah mulai bisa ‘merasakan’ apakah dia sedang diawasi atau diperhatikan seseorang. Sekarang Dorin tidak bisa lagi seenaknya memukulkan tongkat kayu ke meja tulis bocah itu. Entah kenapa setiap kali ia mengangkat tongkat kayunya, hendak memukulkannya ke meja tulis Bennosuke, anak itu selalu menoleh ke arahnya.

Suatu kebetulan? Atau insting si bocah yang semakin tajam?

Saat ini Bennosuke sepertinya sudah selesai berlatih. Wajah dan tubuhnya basah oleh keringat. Ia berjalan menghampiri Dorin. Bokken-nya diselipkan di obi (sabuk dari kain) yang melingkari pinggangnya.

“Paman,” panggilnya.

“Kalau mau bertanya tentang teknik pedang, kau salah orang,” Dorin menjawab acuh tak acuh. Ia meneruskan kegiatannya – menyiram tanaman, kedatangan Bennosuke tampaknya tidak mengusiknya.

Bocah itu menggelengkan kepalanya.

Dorin melirik sekilas. Ia melihat tampang Bennosuke yang letih namun menunjukkan ketidakpuasan.

Dia masih memikirkan latihan pedangnya barusan.

“Paman, bagi airnya sedikit.” Ia lalu mengambil gayung kayu dari tangan Dorin dan mendekatkannya ke mulutnya. Ia langsung meminum air di gayung itu dengan cepat.

“Lagi, ya,” katanya lalu menyerok air di ember yang ada di samping Dorin.

“Apanya yang sedikit?” tanya Dorin. “Dua gayung itu tidak bisa dibilang sedikit.”

Bennosuke tersenyum dan mengembalikan gayung itu.

“Kan tidak sampai setengah ember,” katanya.

Dorin mencedok air dari ember itu dan menyiramkannya ke Bennosuke – yang sudah lari menjauh sambil tertawa-tawa.

“Kalau kamu minum setengah ember, kamu harus mengisinya lagi!” teriak Dorin sambil menunjuk sumur dengan gayung kayu yang dipegangnya – maksudnya, Bennosuke harus menimba air dari sumur untuk mengisi ember itu.

Bennosuke berlari menuju salah satu sudut pekarangan dan duduk di atas batu berukuran besar yang permukaannya rata. Batu-batu semacam itu banyak terdapat di sekitar pekarangan dan bisa digunakan sebagai tempat duduk.

Bennosuke sudah letih berlatih. Hampir setiap hari ia  berlatih mengayunkan pedang, namun sepertinya ia masih memerlukan waktu bertahun-tahun lagi, sebelum ia betul-betul mahir dan gerakan tubuhnya selaras dengan ayunan pedang di tangannya.

Terlalu banyak orang kuat di dunia ini.

Bennosuke mengingat para penantang yang bertandang ke dojo Munisai dan melakukan ‘perbandingan teknik’ dengan ayahnya. Bennosuke mengetahui tak seorang pun murid ayahnya yang sanggup melawan para penantang itu. Padahal beberapa di antara penantang itu usianya relatif muda – sepantar dengan murid-murid Munisai, tetapi kemampuan teknik mereka jauh lebih tinggi.

Cuma Ayah yang bisa menandingi mereka.

Dorin sudah selesai menyiram tanaman. Ember beserta gayungnya sudah disimpan di tempatnya semula. Ia berjalan menghampiri Bennosuke yang sedang merenung itu. Seperti yang ia duga,  pikiran Bennosuke masih melekat pada latihan pedangnya. Latihan yang dilakukannya sendiri tanpa bimbingan siapapun.

“Kenapa kamu tidak berlatih di dojo saja?” tanya Dorin yang kemudian duduk di samping Bennosuke.

Si bocah menggelengkan kepalanya.

“Murid-murid Ayah tidak ada yang hebat.” Bennosuke membandingkan murid-murid Munisai dengan penantang ayahnya.

“Maksudmu, Munisai itu guru yang payah?” tanya Dorin – bercanda.  

Pertanyaan macam apa ini? Apa Paman mau mengadukanku ke Ayah?

Bennosuke menoleh ke arah Dorin. “Aku tidak bilang begitu,” jawabnya dengan ketus.

“Terus?” Dorin menunggu si bocah berbicara lebih lanjut.

“Aku hanya …” Bennosuke tidak bisa menjelaskannya.

Bennosuke mampu mengingat dengan jelas gerakan-gerakan penantang ayahnya.

Mereka sangat tangkas dan serangan mereka mematikan. Ayah mampu mengantisipasi serangan mereka, bahkan bergerak lebih cepat dari mereka, tetapi kenapa murid-murid Ayah … tidak ada satu pun dari mereka yang bisa melakukan hal itu? Mendekati kemampuan Ayah saja tidak bisa. Apa yang salah dengan latihan mereka? Bagaimana dengan latihanku sendiri?

“Sering kali aku bahkan tidak mampu melihat gerakan kaki ataupun tangan Ayah,” katanya.

Dorin terus mendengarkan.

Pasti ini tentang pertarungan-pertarungan yang dilakoni Munisai.

“Walaupun begitu, aku ingin bisa sekuat dan sehebat Ayah.”

Pernyataan yang terdengar biasa-biasa saja dari seorang bocah yang masih harus belajar banyak tentang ilmu pedang. Namun Dorin mampu merasakan tekad yang kuat dari bocah tersebut.

Ia tahu Bennosuke pasti menyadari apa yang menjadi kelemahannya dan ia percaya bocah itu akan mampu mengatasi hal itu.

Kelak kau akan bisa sekuat dan sehebat ayahmu, Bennosuke!  

Bersambung

Bagian (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9), (10)

#‎Tantangan100HariMenulisNovel

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun