“Paman, bagi airnya sedikit.” Ia lalu mengambil gayung kayu dari tangan Dorin dan mendekatkannya ke mulutnya. Ia langsung meminum air di gayung itu dengan cepat.
“Lagi, ya,” katanya lalu menyerok air di ember yang ada di samping Dorin.
“Apanya yang sedikit?” tanya Dorin. “Dua gayung itu tidak bisa dibilang sedikit.”
Bennosuke tersenyum dan mengembalikan gayung itu.
“Kan tidak sampai setengah ember,” katanya.
Dorin mencedok air dari ember itu dan menyiramkannya ke Bennosuke – yang sudah lari menjauh sambil tertawa-tawa.
“Kalau kamu minum setengah ember, kamu harus mengisinya lagi!” teriak Dorin sambil menunjuk sumur dengan gayung kayu yang dipegangnya – maksudnya, Bennosuke harus menimba air dari sumur untuk mengisi ember itu.
Bennosuke berlari menuju salah satu sudut pekarangan dan duduk di atas batu berukuran besar yang permukaannya rata. Batu-batu semacam itu banyak terdapat di sekitar pekarangan dan bisa digunakan sebagai tempat duduk.
Bennosuke sudah letih berlatih. Hampir setiap hari ia berlatih mengayunkan pedang, namun sepertinya ia masih memerlukan waktu bertahun-tahun lagi, sebelum ia betul-betul mahir dan gerakan tubuhnya selaras dengan ayunan pedang di tangannya.
Terlalu banyak orang kuat di dunia ini.
Bennosuke mengingat para penantang yang bertandang ke dojo Munisai dan melakukan ‘perbandingan teknik’ dengan ayahnya. Bennosuke mengetahui tak seorang pun murid ayahnya yang sanggup melawan para penantang itu. Padahal beberapa di antara penantang itu usianya relatif muda – sepantar dengan murid-murid Munisai, tetapi kemampuan teknik mereka jauh lebih tinggi.