Setelah mengajari bocah tersebut membaca dan menulis selama beberapa bulan, mau tidak mau ia pun mengakui potensi yang dimiliki Bennosuke.
Bocah ini kemajuannya sangat pesat.
Bennosuke sudah menghapal lebih dari lima ratus huruf kanji. Tulisannya juga sudah semakin baik, walaupun belum bisa dibilang bagus. Bennosuke rajin belajar, tekun menulis dan menghapal huruf kanji karena Dorin berjanji akan meminjamkannya buku-buku mengenai kisah kepahlawanan, seperti Sangoku Engi (Sanguo Yanyi – kisah Tiga Kerajaan atau Samkok), Suikoden (Shui Hu Zhuan – kisah 108 pendekar), dan sebagainya. Tentunya dalam versi yang lebih ringkas, karena sepertinya masih memerlukan waktu beberapa tahun lagi bagi Bennosuke hingga ia benar-benar mahir membaca dan bisa memahami isi buku tersebut. Selama ini, ia hanya mengetahui kisah kepahlawanan tokoh-tokoh dalam Sangoku Engi dan Suikoden tersebut secara lisan – berdasarkan apa yang diceritakan Dorin.
Dorin memerhatikan kalau Bennosuke juga sudah mulai bisa ‘merasakan’ apakah dia sedang diawasi atau diperhatikan seseorang. Sekarang Dorin tidak bisa lagi seenaknya memukulkan tongkat kayu ke meja tulis bocah itu. Entah kenapa setiap kali ia mengangkat tongkat kayunya, hendak memukulkannya ke meja tulis Bennosuke, anak itu selalu menoleh ke arahnya.
Suatu kebetulan? Atau insting si bocah yang semakin tajam?
Saat ini Bennosuke sepertinya sudah selesai berlatih. Wajah dan tubuhnya basah oleh keringat. Ia berjalan menghampiri Dorin. Bokken-nya diselipkan di obi (sabuk dari kain) yang melingkari pinggangnya.
“Paman,” panggilnya.
“Kalau mau bertanya tentang teknik pedang, kau salah orang,” Dorin menjawab acuh tak acuh. Ia meneruskan kegiatannya – menyiram tanaman, kedatangan Bennosuke tampaknya tidak mengusiknya.
Bocah itu menggelengkan kepalanya.
Dorin melirik sekilas. Ia melihat tampang Bennosuke yang letih namun menunjukkan ketidakpuasan.
Dia masih memikirkan latihan pedangnya barusan.