Lewat pengalaman sang Supertramp, kita bisa melihat jurang yang memisahkan manusia abad industrial dengan dua pengetahuan alam yang dimiliki Kain dan Habel. Jurang yang terlalu lebar dan dalam. Sayang, sang Supertramp tidak mampu memprediksi "kekejaman" hidup di alam liar, minimal mempersiapkan diri dengan bekal pengetahuan.
Mungkin iya, di abad ini masih lestari warisan Kain; masih ada petani, masih ada lahan yang digarap (meski kita bisa berdebat soal konflik agraria), dan sejak lahir kita dilahirkan sebagai "pemukim". Tetapi perihal Habel? Hanya segelintir manusia yang masih bertahan dengan gaya hidup berburu--kita hanya mengetahuinya pada suku-suku pedalaman.
Lantas kita diserang alienasi dan demam-rindu untuk berkelana di alam liar. Secara bersamaan, kita telah linglung demikian lama. Kita sudah melupakan sesuatu yang berharga dari Habel dan tiba-tiba merengek kembali ke alam liar dengan naif.
Ingat, sang Supertramp mati karena ia kehabisan stok perburuan, ia kehabisan akal untuk mengatasi rasa lapar, ia telah kehilangan kebijaksanaan soal memilah tumbuh-tumbuhan yang baik. Akhirnya, tumbuhan yang beracun pun membunuh sang Supertramp, secara perlahan tapi pasti.
Betapa ironi.
Kini, kita meruang dalam nilai individualitas yang mewujud pada arsitektur modern--dinding tebal yang kita buat sendiri. "Rumah" kita adalah bangun ruang yang terdiri atas sekat-sekat, pintu-pintu, pagar-pagar. Kita pikir kita bisa bahagia sebagai penguni waktu dan perlahan menelantarkan ruang.
Sedikit-banyak itulah yang terjadi pada kita dan sang Supertramp--alienasi lambat-laun menggerogoti hidup dari dalam. Kita selalu dihantui rindu purba, seperti Kain yang merindukan rumah pertamanya di mana ia bertumbuh bersama Adam dan Hawa. Seperti Habel yang merindukan rumahnya dalam segenap alam-bumi tak bertuan--di padang luas, hutan, bukit, gunung, sungai, laut...
Kata Avianti Armand lagi dalam buku yang sama; Melompat ke beribu tahun sesudahnya, kita masih bertanya: apa arti "rumah"?
Pertanyaan yang cukup menohok. Apakah kita adalah sebuah kemunduran?
Menengok kembali ke gambaran dalam novel yang dikarang Gioconda Belli, saya terbayang-bayang duka yang mengiringi Hawa saat ia meninggalkan Firdaus yang dikiranya "rumah".
Lalu saat ia meninggalkan gua pertama yang dihuninya menuju gua baru--bagi Hawa gua pertama itu sarat kenangan sebab di sanalah mula-mula ia bercinta dengan Adam, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya.