Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perihal Kita, Pengelana Menuju Rumah atau Sebaliknya

20 Oktober 2020   19:23 Diperbarui: 22 Oktober 2020   04:00 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Copyright 2020 Rizka Khaerunnisa

Ketika saya merasa lelah dengan segala hiruk-pikuk dan tuntutan sosial, acapkali angan tebersit di benak: apakah lebih baik saya hidup sebagai petani saja? Alasannya cukup naif, demi menjaga kewarasan jiwa raga.

Saya membayangkan, dengan bertani akan selangkah lebih dekat dengan alam.

Setidaknya, saya bisa rutin bangun lebih pagi dan tidur pukul sepuluh malam, intinya punya jam tidur yang cukup--sudah lama saya kehilangan siklus itu dan betapa merindukannya! Setidaknya, bisa menghalau overthinking--penyakit yang akrab di telinga anak muda zaman kiwari. Setidaknya, bisa ikut bungah setiap kali memetik dari apa yang saya rawat sendiri dan hasilnya, minimal, saya konsumsi sendiri--semacam rasa haru dan lega hati yang bercampur-baur.

((Terdengar meromantisisme realita? Anda benar...))

Belakangan, saya mulai nyicil belajar nandur sayuran dan nabung tanduran. Agak sulit, sebab saya harus mengakali lahan yang terbatas, cuaca perkotaan yang sangat terik, serta tiadanya tanah, wadah, dan anggaran, hehe.

Belakangan, saya tengah bepikir soal rencana membuat greenhouse di atap rumah menggunakan paranet agar intensitas cahaya matahari yang terlalu kuat bisa tereduksi. Tapi ada satu hal yang membuat saya khawatir seandainya greenhouse telah dibuat serta jumlah tanaman semakin banyak dan beragam.

Apakah akan selamanya saya menetap dan menghabiskan waktu di rumah ini?

Kalau dipikir-pikir, angan tentang kehidupan merantau dan mengembara yang selama ini saya impikan adalah hambatan terbesar untuk mulai bertani kecil-kecilan di rumah yang sekarang--rumah orangtua. Entah, selalu terpatri dalam pikiran bahwa saya harus lekas meninggalkan kota dan ruang ini, lalu hidup sebagai penjelajah ke ruang-ruang yang baru.

Agak dilema.

Berhadapan dengan ini, pikiran saya jadi berlanglang buana. Saya teringat nasib Kain dan Habel, dua putra yang terlahir dari rahim Hawa.

Bagaimana dengan kehidupan Kain yang dikutuk menjadi pengembara oleh Tuhan? Kita semua tahu, semula Kain adalah petani-pemukim sejati. Bekerja sebagai petani mengharuskan dirinya hidup menetap, tak bisa berlama-lama jauh dari ladang. Dengan kata lain, pengembaraan menjadi suatu momok bagi dirinya.

Selama pengembaraannya ke tanah Nod, seberapa tahan ia dihantui rasa rindu terhadap "rumah"? Bagaimana Kain mengenang "rumah"?

Ah, rumah.

Betapa hidup sebagai pemukim menyebabkan kita lebih banyak memproduksi dan menyimpan artefak--juga sibuk mencatat kenangan dari manusia dan benda mati. Beribu tahun kemudian pasca kutukan Kain, beban jadi semakin berat dan rumit seandainya suatu hari nanti kita dikutuk serupa Kain.

Ilmuwan bilang, revolusi pertanian merupakan lompatan terbesar kemajuan dalam hidup umat Sapiens. Titik itulah yang mendorong wajah peradaban kita hingga jadi seperti sekarang. Titik yang dalam mitologi kuno dan agama samawi telah "dirintis" dan "diwariskan" oleh Kain.

Gambaran sederhananya, revolusi pertanian berarti produksi pangan lebih banyak dan efisien. Lebih banyak pasokan berarti lebih banyak ladang yang harus dijaga, dilindungi, dan dirawat.

Lebih banyak pangan berarti pasangan suami-istri tak perlu khawatir untuk menghidupi anak yang banyak. Maka bisa ditebak, laju perkembang-biakan pun jadi meledak.

Lebih banyak pangan, lebih banyak anak, berarti mengharuskan Sapiens hidup menetap. Keuntungan-keuntungan cara hidup bertani sejatinya adalah rayuan telak untuk meninggalkan kehidupan nomaden.

Maka dibangunnya rumah senyaman mungkin, dibuatnya alat dan teknologi yang punya beragam fungsi. Beribu tahun kemudian, terbentuklah kota yang tersusun dari aneka tata ruang dan letak hingga estetika. Itu sebabnya kaum petani-pemukim acapkali lebih dekat dengan predikat "arsitek perintis"--mereka mencipta ruang beserta kerumitannya.

Tapi, titik transformasi sejarah yang merentang jauh sejak pemburu-peramu menuju petani-pemukim tak sesederhana yang dibayangkan. Batasnya peralihannya sangat kabur. Prosesnya cenderung lambat. Revolusi pertanian tidak terjadi secara ujug-ujug. 

Di masa itu, barangkali ada sebagian pemburu-peramu yang hidup semi-permanen. Mereka menetap dalam waktu yang cukup lama, kemudian melakukan pengembaraan lagi mencari "rumah" baru. Atau, ada sebagian pemburu-peramu yang di masa-masa tertentu yang bertani dan menggembala, kemudian di masa selanjutnya beralih memburu dan mengumpulkan pangan kembali.

Kita tak cukup mampu membaca peta ribuan tahun lalu itu secara rinci dan utuh. Kita hanya coba memecahkan teka-teki lewat pengetahuan arkeologi, telaah mitologi dalam sastra lisan, atau teks-teks kuno penuh metafora beserta lapis-lapis makna.

Kadang-kadang saya berpikir soal pola-pola yang tersirat dalam tragedi Kain-Habel. Apakah kisah mereka merepresentasikan konflik kuno antara kelompok petani agraris yang menetap dengan kelompok penggembala-pemburu yang nomaden? Bukankah telah jadi kecenderungan bahwa transisi dalam sejarah sarat dengan konflik?

Saya tak tahu persis. Tapi kisah Kain-Habel juga mirip dengan mitologi Sumeria, tentang konflik yang bergema antara Dumuzi, dewa para gembala, dan Enkimdu, dewa para petani. Keduanya bersaing demi memperebutkan perhatian Inanna, sang Dewi utama.

Serupa dengan itu, kita tahu, Kain adalah seorang petani. Ia identik dengan hidup menetap. Sementara Habel seorang gembala yang identik dengan penjelajahan dan pengembaraan. Keduanya "bersaing" memperebutkan perhatian Tuhan atau Yang Lain lewat persembahan kurban.

Kadang Habel juga identik dengan kehidupan berburu. Dalam novel yang digubah Gioconda Belli berjudul Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya, misalnya, Habel digambarkan pergi berburu hewan liar bersama ayahnya, Adam, setiap hari sejak fajar menyingsing hingga lembayung senja menggantung di langit. Ia mesra dengan alam liar, ia belajar membunuh hewan dan mengakrabi kematian.

 
 "Adam and Eve with the Infants Cain and Abel" painting by Nicola Vaccaro  (1640--1709) via Wikimedia Foundation/public domain

Saya bertanya-tanya, apakah Habel "sudah atau akan" terlupakan? Bukan melulu perihal Habel yang semata-mata dikenang sebagai martir dan cerminan manusia yang taat. Lebih dari itu, bagaimana dengan Habel yang menyimpan pengetahuan tulen tentang hidup mengembara?

Tapi Habil mati. Dan Kain, si arsitek, dikutuk menjadi anti-arsitek. Lalu apa arti "rumah"? Tanya Avianti Armand dalam buku Arsitektur yang Lain. Ia menempatkan Kain-Habil dalam konteks spasial--arsitektur dan makna keruangan. Lalu saya ingin menyitir, menambah, dan memperjelas kembali: Tapi Habil mati. Dan Kain, si pemukim dikutuk menjadi pengembara. Lalu apa arti "rumah"?

Kain memang dikutuk menjadi pengembara, tetapi sanggupkah ia selamanya seperti itu? Barangkali Kain akhirnya lelah mengembara, kemudian tiba di suatu tempat, membangun rumah, mendirikan kota, menghasilkan keturunan, mewariskan pengetahuan tulennya soal bagaimana mengolah tanah menjadi subur...

Meloncat jauh pasca-pengembaraan Kain, di abad industrial ini, masih tersisa ampas romantisisme tentang kerinduan menyatu dengan alam lewat gaya hidup mengembara. Kita, produk abad indutrial, tiba-tiba diserang keterasingan di rumah kita sendiri.

Menarik kalau saya ingat-ingat lagi cerita dalam film Into The Wild (2007). Bagi yang pernah menonton tentu ingat bagaimana Alexander 'Supertramp' akhirnya menyerah pada kematian di dalam "guanya", magic bus.

Meski dalam catatannya sang Supertramp mengaku bahagia karena bisa hidup di alam liar dan penonton tertular rasa haru-biru, buat saya ia tampak naif dan tak lebih dari representasi manusia abad-abad ini.

Lewat pengalaman sang Supertramp, kita bisa melihat jurang yang memisahkan manusia abad industrial dengan dua pengetahuan alam yang dimiliki Kain dan Habel. Jurang yang terlalu lebar dan dalam. Sayang, sang Supertramp tidak mampu memprediksi "kekejaman" hidup di alam liar, minimal mempersiapkan diri dengan bekal pengetahuan.

Mungkin iya, di abad ini masih lestari warisan Kain; masih ada petani, masih ada lahan yang digarap (meski kita bisa berdebat soal konflik agraria), dan sejak lahir kita dilahirkan sebagai "pemukim". Tetapi perihal Habel? Hanya segelintir manusia yang masih bertahan dengan gaya hidup berburu--kita hanya mengetahuinya pada suku-suku pedalaman.

Lantas kita diserang alienasi dan demam-rindu untuk berkelana di alam liar. Secara bersamaan, kita telah linglung demikian lama. Kita sudah melupakan sesuatu yang berharga dari Habel dan tiba-tiba merengek kembali ke alam liar dengan naif.

Ingat, sang Supertramp mati karena ia kehabisan stok perburuan, ia kehabisan akal untuk mengatasi rasa lapar, ia telah kehilangan kebijaksanaan soal memilah tumbuh-tumbuhan yang baik. Akhirnya, tumbuhan yang beracun pun membunuh sang Supertramp, secara perlahan tapi pasti.

Betapa ironi.

Kini, kita meruang dalam nilai individualitas yang mewujud pada arsitektur modern--dinding tebal yang kita buat sendiri. "Rumah" kita adalah bangun ruang yang terdiri atas sekat-sekat, pintu-pintu, pagar-pagar. Kita pikir kita bisa bahagia sebagai penguni waktu dan perlahan menelantarkan ruang.

Sedikit-banyak itulah yang terjadi pada kita dan sang Supertramp--alienasi lambat-laun menggerogoti hidup dari dalam. Kita selalu dihantui rindu purba, seperti Kain yang merindukan rumah pertamanya di mana ia bertumbuh bersama Adam dan Hawa. Seperti Habel yang merindukan rumahnya dalam segenap alam-bumi tak bertuan--di padang luas, hutan, bukit, gunung, sungai, laut...

Kata Avianti Armand lagi dalam buku yang sama; Melompat ke beribu tahun sesudahnya, kita masih bertanya: apa arti "rumah"?

Pertanyaan yang cukup menohok. Apakah kita adalah sebuah kemunduran?

Menengok kembali ke gambaran dalam novel yang dikarang Gioconda Belli, saya terbayang-bayang duka yang mengiringi Hawa saat ia meninggalkan Firdaus yang dikiranya "rumah".

Lalu saat ia meninggalkan gua pertama yang dihuninya menuju gua baru--bagi Hawa gua pertama itu sarat kenangan sebab di sanalah mula-mula ia bercinta dengan Adam, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya.

Saat Habel mati, raganya semakin beku dan meninggalkan Hawa... Saat Kain pergi mengembara... Perlahan-lahan, Hawa mengerti apa itu kenangan.

Seseorang pernah bertanya pada saya alih-alih sebetulnya tengah bertanya pada dirinya sendiri. Apa arti rumah sementara ruang yang pernah saya huni kini telah "kosong"? Apa arti pulang jika manusia di dalamnya terpecah dan retak? 

Saya termangu. Saya tak tahu jawabannya. Tapi saya selalu ingat kata-kata manis yang diutarakan Jiraiya pada Naruto, katanya: Rumah adalah tempat di mana orang-orang selalu memikirkanmu.

Dulu rasanya konyol mendegar kata-kata itu. Sekarang saya baru kepikiran, saya ingin memodifikasi tuturan Jiraiya dalam versi saya sendiri. Barangkali, selama masih ada orang-orang yang memikirkanmu, mungkin itulah rumah.

Seandainya saya katakan itu padanya tiga tahun silam sebelum akhirnya ia hidup mengembara...

Foto: Copyright 2020 Rizka Khaerunnisa
Foto: Copyright 2020 Rizka Khaerunnisa

Foto: Copyright 2020 Rizka Khaerunnisa
Foto: Copyright 2020 Rizka Khaerunnisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun