Kadang-kadang saya berpikir soal pola-pola yang tersirat dalam tragedi Kain-Habel. Apakah kisah mereka merepresentasikan konflik kuno antara kelompok petani agraris yang menetap dengan kelompok penggembala-pemburu yang nomaden? Bukankah telah jadi kecenderungan bahwa transisi dalam sejarah sarat dengan konflik?
Saya tak tahu persis. Tapi kisah Kain-Habel juga mirip dengan mitologi Sumeria, tentang konflik yang bergema antara Dumuzi, dewa para gembala, dan Enkimdu, dewa para petani. Keduanya bersaing demi memperebutkan perhatian Inanna, sang Dewi utama.
Serupa dengan itu, kita tahu, Kain adalah seorang petani. Ia identik dengan hidup menetap. Sementara Habel seorang gembala yang identik dengan penjelajahan dan pengembaraan. Keduanya "bersaing" memperebutkan perhatian Tuhan atau Yang Lain lewat persembahan kurban.
Kadang Habel juga identik dengan kehidupan berburu. Dalam novel yang digubah Gioconda Belli berjudul Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya, misalnya, Habel digambarkan pergi berburu hewan liar bersama ayahnya, Adam, setiap hari sejak fajar menyingsing hingga lembayung senja menggantung di langit. Ia mesra dengan alam liar, ia belajar membunuh hewan dan mengakrabi kematian.
Saya bertanya-tanya, apakah Habel "sudah atau akan" terlupakan? Bukan melulu perihal Habel yang semata-mata dikenang sebagai martir dan cerminan manusia yang taat. Lebih dari itu, bagaimana dengan Habel yang menyimpan pengetahuan tulen tentang hidup mengembara?
Tapi Habil mati. Dan Kain, si arsitek, dikutuk menjadi anti-arsitek. Lalu apa arti "rumah"? Tanya Avianti Armand dalam buku Arsitektur yang Lain. Ia menempatkan Kain-Habil dalam konteks spasial--arsitektur dan makna keruangan. Lalu saya ingin menyitir, menambah, dan memperjelas kembali: Tapi Habil mati. Dan Kain, si pemukim dikutuk menjadi pengembara. Lalu apa arti "rumah"?
Kain memang dikutuk menjadi pengembara, tetapi sanggupkah ia selamanya seperti itu? Barangkali Kain akhirnya lelah mengembara, kemudian tiba di suatu tempat, membangun rumah, mendirikan kota, menghasilkan keturunan, mewariskan pengetahuan tulennya soal bagaimana mengolah tanah menjadi subur...
Meloncat jauh pasca-pengembaraan Kain, di abad industrial ini, masih tersisa ampas romantisisme tentang kerinduan menyatu dengan alam lewat gaya hidup mengembara. Kita, produk abad indutrial, tiba-tiba diserang keterasingan di rumah kita sendiri.
Menarik kalau saya ingat-ingat lagi cerita dalam film Into The Wild (2007). Bagi yang pernah menonton tentu ingat bagaimana Alexander 'Supertramp' akhirnya menyerah pada kematian di dalam "guanya", magic bus.
Meski dalam catatannya sang Supertramp mengaku bahagia karena bisa hidup di alam liar dan penonton tertular rasa haru-biru, buat saya ia tampak naif dan tak lebih dari representasi manusia abad-abad ini.