Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Balik Ambruknya Si Emas Hitam Menjelang Review BBM 2016

29 Juni 2016   16:54 Diperbarui: 30 Juni 2016   08:58 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok Pribadi - ONWJ Pertamina Platform

Di sinilah peranan perusahaan-perusahaan minyak, khususnya perusahaan-perusahaan US. Perusahaan-perusahaan itu mulai melakukan spekulasi harga dan membuat berbagai manuver untuk merekayasa permintaan (supaya) terus meningkat dengan memanfaatkan isu Irak dan Nigeria, tanpa memperhitungkan kebutuhan konsumsi riil.

Harga Minyak pun Didongkrak.
Di samping itu, perusahaan-perusahaan itu juga melakukan penimbunan, supply dihambat, harga minyak pun melonjak gila-gilaan sampai lebih dari 75 USD per barel dan naik terus hingga 133 USD per barel. Di titik ini sebetulnya para 'pemain' bisnis minyak sudah tahu, bahwa lonjakan harga minyak tidak akan berlangsung lama, ya karena permainan tadi dan begitu terjadi konflik yang sedikit saja, maka harga minyak akan lepas.

Shale Oil
Kita tahu bahwa penentu harga minyak bukan hanya dari satu sisi (US atau Arab Saudi) tapi juga para importir (China, Jepang, Indonesia dsb), juga para kontraktor minyak (Exxon, Chevron, BP dsb) plus OPEC sendiri dan para broker minyak yang berpusat di Singapura.

Ucapan Bush terbukti pada 2013, ketika US berhasil melampaui Arab Saudi dan Rusia sebagai eksportir minyak terbesar di dunia, disebabkan ekstraksi minyak melalui pemecahan batuan sedimen di bawah tanah (shale oiltelah berhasil.

Bank of America menyebutkan pada musim panas 2014: “US akan terus menjadi produsen terbesar minyak di dunia pada tahun ini, melampui Arab Saudi dan Rusia, dalam mengekstraksi energi dari minyak bebatuan (shale oil). Itulah yang membangkitkan perekonomian dalam negeri US." Produksi minyak mentah AS dan pemisahan minyak dari gas alam, sudah lebih dari negara lain pada tahun 2015. Produksi minyak US lebih dari 11 juta barel pada kuartal pertama “US menjadi produsen minyak terbesar setelah menyalip Arab Saudi” (Bloomberg, 4 Juli 2014)".

Revolusi minyak dan gas bebatuan (shale oil and gas) di US menyebabkan peningkatan produksi minyak dari 5,5 juta barel per hari pada tahun 2011 hingga saat ini 10 juta barel per hari. Angka itu bisa menutupi sebagian besar kebutuhan US, sehingga impor minyak US dari Arab Saudi bisa menurun hingga setengahnya yaitu menjadi 878 ribu barel per hari dari sebelumnya 1,32 juta barel per hari.

Inilah pemicu pertama dari mulai turunnya harga minyak, karena semenjak itu US mulai mengurangi impor minyak mereka dari Timur Tengah.

Akan tetapi masalah shale oil adalah biaya produksinya yang mahal, masih di kisaran 75 USD per barel. Sementara biaya produksi minyak alami (crude oil) sekitar 7 USD per barel. Ini artinya bahwa negara-negara produsen shale oil terutama US akan terpukul jika harga minyak turun hingga level di bawah biaya produksi shale oil.

Dengan kata lain, ketika  Bush mengumumkan bahwa shale oil  akan menjadi energi alternatif di tengah naiknya harga minyak (yang karena ulah spekulan dan krisis timur tengah), shale oil menjadi sangat ekonomis pada tahun 2011. Tapi akan  menjadi tidak ekonomis nilainya saat ini, jika harga minyak mentah di bawah biaya produksi shale oil itu sendiri. Meskipun dengan peningkatan teknologi biaya itu bisa berkurang menjadi 50 - 60 USD per barel. Sehingga, harga yang paling ekonomis untuk minyak menurut US adalah 80 USD per barel. Bisa kita lihat bersama, bahwa strategi konspirasi US mencari 'titik keseimbangan' ternyata di hambat oleh Arab Saudi, tuan besar di dalam OPEC.

Arab Saudi
Raja Salman, Raja Saudi saat ini naik tahta menggantikan Raja Abdullah Bin Abdul Aziz adalah raja yang dekat dengan Ikhwanul Muslimin, yang notabenenya adalah anti syiah, termasuk melancarkan serangan kepada syiah Houti di Yaman, Iran dan konfrontasinya dengan Basyar Al Assad di Syiria.

Raja Salman pun dikenal dekat dengan Emir Qatar, Tamim bin Hamed sebagai negara pemilik konsesi ladang gas terbesar ketiga dunia. Mereka memiliki hubungan baik sejak lama, terlihat dari keberpihakan ketika kudeta Muhammad Mursi di Mesir, Saudi dan Qatar kompak menentang aksi kudeta tersebut. Di sisi lain, Saudi menganggap shale oil adalah ancaman, Arab Saudi mulai bermanuver dalam geopolitik di Timur Tengah dengan cara terus meningkatkan produksi minyak mereka, bahkan menambah kapasitas produksinya, yang mengakibatkan harga minyak anjlok seketika hingga di bawah 80 USD per barel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun