Matahari sudah terlena dalam lelapnya sejak lama, Adzan magrib tanda berbuka puasa pun sudah tuntas melaksanakan tugasnya di hari itu, membimbing para kawula muslim untuk menuntaskan segala nafsunya yang terkekang di bulan yang suci, termasuk nafsu berahi yang baru saja tuntas di selesaikan oleh pasangan suami istri, di rumah petak yang sempit di kawasan Jl Kramat.
“….Nah, gitu tho dek, kamu kok tambah lama tambah ciamik tho ya..seneng aku”
“Ihiiikk..ihiikk..mas’e itu lho, aku kan tahu, makanya aku rajin yoga”
“Siapa itu yoga?”
“Jangan cemburu, itu lho mas, senam yang mlentang-mlenting itu, makjos tho hasilnya mas ku?” Ujar sang istri dengan genit.
“Hooh dek…hufft, mantab”
Seusai menuntaskan hasrat terakhirnya, lelaki yang di panggil mas’e tersebut kemudian memiringkan badannya kesamping, menurunkan sarungnya dan mengambil sebatang kretek.
Suasana hening, lelaki tersebut tampak kelelahan, namun pikirannya masih melayang-layang, matanya menatap jauh ke kaca rias istrinya, di sudut atasnya tertempel stiker berwarna merah dengan hiasan namanya disana, Wahyu Setiaji, Ketua.
Kret, kret, terdengar istrinya mendekat. Sebagai istri yang tanggap sasmita dan lemah lembut, tentu ia sangat tahu bagaimana men-servis suaminya, bukan hanya dalam hal ranjang tapi juga dalam hal berbagi pikiran. Di julurkannya tangan putih mulus itu ke atas tangan Wahyu, yang kasar dan berurat tak jelas dengan maksud menenangkan.
“Mas’e kenapa, kok kayak banyak pikiran ya?”
“Hmm..enggak, biasalah dek, masalah partai..”
“Oh, yawes adek tak buat kopi dulu ya, biar rodo seger”
“Iya, manis ya dek” Ujar Wahyu Setiaji, sambil menghisap kreteknya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan takzim.
Sepeninggal sang istri ke dapur, suasana kembali hening, Wahyu tetap asyik dengan lamunannya. Mereka tidak menyadari bahwa di bawah kasur mereka, tertempel sebuah alat pendeteksi canggih yang dilengkapi dengan kamera micro, alat yang bisa merekam segala pembicaraan dan aktivitas mereka.
Sudah lazim sejak jaman propaganda kuno masa lalu, aktivitas ranjang menjadi aktifitas yang paling ditunggu oleh para spionase. Bukan karena seks, melainkan karena disitulah letak segala kejujuran sang lelaki yang luluh lantak oleh wanita.
Disitulfah titik kelemahan pria, bagaimana pembicaraan antara Napoleon dengan istrinya, Josephina de Beauharnais dibocorkan kepada Count de Barras yang berujung pada kematiannya di Waterloo, adalah kisah romansa-spionase epik yang banyak dipelajari.
Dan ini di manfaatkan oleh seorang Jendral yang saat ini sedang sibuk mencari panggung, Jendral yang haus akan posisi, pangkat dan jabatan dan ditengarai pernah tersengat tawon di Timor Timur.
Dialah Jendral Kiplan Zonk.
***
Di tempat yang jauh dari rumah petak tadi, Jendral Kiplan Zonk beserta satu pengawalnya sedang khusyuk mendengarkan aktifitas suami istri tersebut, terkadang tangannya ada di bawah perut sambil bergerak maju mundur, kadang pula memegangi kepalanya yang gundul. Wajahnya tegang, setegang tali jemuran ibu kos.
“Nah, benar dugaanku Joni! Orang itu benar adalah Wahyu, Wahyu Setiaji tak salah lagi. Wahyu Setiaji yang selama ini ada dalam pikiranku ternyata memang benar…ahaaaa!!”
“Dengar Joni..Wahyu Setiaji itu bukan cerita dongeng!!..Ahahahaaaayyy” Pekik sang Jendral sambil melotot-melotot.
“Tapi Jendral, itu kan belum tentu Wahyu Setiaji si ketua PKI itu lho”
“Apalagi yang di ragukan? Lihat kamera itu, lihat di kaca itu, ada namanya guooblook! Wahyu Setiaji! Ketua!! Masak ga bisa baca kamu?”
“Iya, maksud saya, Wahyu Setia…”
“Heh! Diam! Denger ya, denger bajinguk! Pokoknya Wahyu Setiaji sudah dalam genggamanku..Dan..Hmm, kau tau apa yang bakal ku dapat Joni? Pemerintahan ini akan lengser, jatuh! Mengemis-ngemis merangkak-rangkak di hadapan Tuan Besar, hihihihihikkk…Paham?”
“Iii…ii..iya bos..”
“Dan aku?! Aku adalah orang yang paling berjasa..Hehehehe..aku akan menduduki posisi penting! Tuan Besar akan berbalas jasa kepadaku, mungkin tambang Freeport atau pabrik kertas setengahnya akan diberikan padaku..hahahahaha!”
Jendral Kiplan Zonk tampak kegirangan, wajahnya tertawa lepas dengan bengis, mirip tawa Rita Repulsa musuh Power Rangers.
***
“Ini kopinya mas’e, kenthel manis, supaya mas’e seger lagi..iya tho”
“Makasih dek…srruuupppttt..wah, enak betul kopimu dek, wis jan tambah cintrong daku”
“Halah, gombiyal mu mas’e..dah cerita, gimana kabar partaimu itu?”
“Gini dek..” Ujar Wahyu perlahan.
Sang istri pun mendekatkan bahunya ke bahu Wahyu, bersiap tekun mendengarkan. Bagai Aristoteles dengan Plato.
“Partai ini sisi sejarahnya kuat, aku ndak bisa setengah-setengah untuk ngurusi partai ini” Wahyu terdiam, wajahnya menunduk, suasana hening. Sambil menghembuskan asap kreteknya, dia melanjutkan.
“Historisnya itu lho dek..ngegirisi, merinding. Ideologi harus ditegakkan, seperti titah para pendahulu kita dulu”
“Iya mas, aku ngerti, tapi apa ndak berbahaya tho? Partai itu kan bahaya tho mas, aku denger dari ibu-ibu waktu beli sayur..Katanya, partai itu njelimet, sarang korupsi” Ujar sang istri. Suasana kembali mendadak hening.
“Aku takuttt mas’eeee…takuuutt kalo terjadi sesuatu sama mas’e..aku ndak mau kehilangan mas’eeee” Pecah tangis si istri, Wahyu pun gelagapan.
“Ini apa tho dek, ndak ada apa-apa! Mas itu cuma mikir, partai ini sudah kadung banyak peminat, harus di besarkan, dan untuk itu, butuh dana..itu lho yang jadi pikiran”
“Oh..maap mas’e, tak kira seperti jaman tahun 65 dulu..aku takut”
Jendral Kiplan Zonk mendengarkan pembicaraan sadapan itu dengan khusyuk sambil manggut-manggut dan terkikik-kikik.
“Ternyata pimpinan partai komunis itu cuma level rendahan, omongannya ndeso! Tidak seperti dugaanku bakal licin, penuh isyarat dan sulit, tak kusangka, pekerjaan ini menjadi teramat mudah! Hok hok hok” Ujar Sang Jendral sambil ngemil buah salak.
“Partai ini, butuh ideologi yang kuat untuk tumbuh dek, lha sekarang itu sulit, anak mudanya pingin cuma enak thok, geleges geleges beres..gitu lho, giliran tak suruh cari dana bangun but-but kaya temannya pak Ahok itu pada ndak mau”
“Kenapa ndak mau mas’e?”
“Lhaa, ya gitu lah, mereka mintanya bangun di emol, lha duite siapa mau bangun but-but di emol. Lha mampunya ya di desa, pinggir penggilingan sawah atau ya kalau ndak, ya di perkampungan, pinggir rel kereta. Kata mereka, yo emoh pak, but-but itu fesyen, fesyen ya di emol”
“Lha, terus gimana?”
“Wah ya susah dek. Partai ku kan partai wong cilik bener, pengennya gandeng tukang jualan kayak aku gini, petani atau buruh pabrik. Tapi, mereka mana ngerti caranya cari duit, ya anak-anak muda itulah yang akhirnya ku gandeng”
“Hmmm..Petani..buruh…tukang…hmm…tak salah lagi..” Ujar sang Jendral dalam hati, masih sambil ngemil buah salak, dengan telinga yang melebar bak daun kelor.
“Kalau elemen-elemen itu di gabungkan, pasti tujuan kita tercapai, dagangan pasti tambah laris, tambah pemasukan untuk bayar kontrakan, kesejahteraan teman-teman pasti naik, gitu lho dek harapanku”
“Sek tho mas’e..elemen itu apa?”
“Wedus”
“Oh.. wedus..”
“Halah, yo pokoknya rumit lah..yang jelas PKI harus tumbuh”
Mendengar kata “PKI”, wajah sang Jenderal seketika memerah, membayangkan posisi yang akan diraihnya, dengan mudah.
“PKI?” Tanya sang istri mengendurkan wajahnya. Wajah yang semula serius mendadak murung.
“Iya, kenapa dek? Kok kamu..?”
“Kok namanya harus PKI tho mas..mbok yang aman-aman saja, PKI setahu ku itu sudah dilarang pak Harto dulu. Waktu di kampung, simbok sering cerita kalau pak Harto itu benci sekali sama PKI, ojo melu-melu, gitu katanya” Ujar sang istri dengan wajah was-was.
“Aku takut mas’e..hambok yang wajar-wajar aja”
“Halaaah dek, ini kan sudah turun temurun dari jaman bapak ku dulu. Bapak itu tukang jualan makanan, dari mie ayam, lalu bubur, bakso dan terakhir sukses dagang soto di Jl Kramat sini, makanya sampek di panggil Kang Nyoto, lha aku ini pewarisnya, Wahyu Setiaji anak Kang Nyoto. Dari tahun 65 bapak jualan gitu”
“Ya tinggal di ganti tho mas’e”
“Di ganti opo?”
“Ya pokoknya jangan PKI”
“Lha PKI itu kan kepanjangannya Partai Kaki-lima Indonesia tho dek, apa lagi yang bisa disingkat? Ini sudah titah bapak ku, harus memperbesar partai khusus pedagang kaki lima. Partai ini ideologinya ya kaki lima, memajukan usaha kaki lima dari kota hingga pedesaan”
“Mungkin simpatisan bisa sampai 15 juta lho dek, dari semua pedagang kaki lima sampai penggemar makanan kaki lima, apa kurang mulia cita-cita itu?” Sambung Wahyu.
“Sekarang sudah banyak anak muda yang mau gabung, karena mereka pecinta jajanan kaki lima, ndak ngincer kursi di DPR kita dek, yang penting para pedagang ini punya wadah untuk aspirasi, gitu aja. Ndak mumet-mumet”
“Ya diganti aja mas, Partai Persatuan Pedagang Kaki lima Indonesia, PPKLI, gitu kan bisa tho mas’e. Pokoknya jangan PKI, itu sudah dilarang, bahaya mas’e, bahaya!” Tukas sang istri, sewot.
Wahyu terdiam, ada benar omongan istrinya barusan. Kembali dia menyetel kreteknya. Sasana kembali hening.
“Kamu betul juga dek, supaya maju, kita harus ikuti aturan yo” Ujar Wahyu tenang, asap kretek dihembuskan perlahan.
“Lha itu ngerti”
“Iya, yawes, besok tak ganti nama saja. PPKLI, Partai Persatuan Pedagang Kaki Lima Indonesia..Wah, jos tenan ide mu dek..jos mantap!! besok segera aku ketemu temen-temen, partai kita diganti, PPKLI!!” Pekik Wahyu di hening malam itu.
“Lha iya tho, kan enak mas’e”
“Ahhh dek, kamu memang pinter”
“Ihiiik..ihiiiikk..iya tho, ndak rugi tho mas’e ngawinin aku dulu..ihiiik”
“Ihiik..iya dek, semoga tambah maju pedagang-pedagang kayak kita ya..hihihi..eh dek, lanjut lagi yuk”
“Hayuk mas’e..adek juga udah gak tahan..”
Mereka pun kembali tenggelam dalam aktifitas di balik selimut.
***
Dan nun jauh disana, sang Jendral yang penuh ambisi itu tengah terpaku, terdiam, bisu, matanya melotot tak bergerak. Joni, si pengawal kabur entah kemana.
Sehari kemudian Sang Jendral ditemukan mati mengenaskan. Di dalam lehernya ditemukan sebuah biji salak yang cukup besar. Cukup besar untuk membungkam aliran nafas, darah dan ego manusia, untuk selamanya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H