“Gini dek..” Ujar Wahyu perlahan.
Sang istri pun mendekatkan bahunya ke bahu Wahyu, bersiap tekun mendengarkan. Bagai Aristoteles dengan Plato.
“Partai ini sisi sejarahnya kuat, aku ndak bisa setengah-setengah untuk ngurusi partai ini” Wahyu terdiam, wajahnya menunduk, suasana hening. Sambil menghembuskan asap kreteknya, dia melanjutkan.
“Historisnya itu lho dek..ngegirisi, merinding. Ideologi harus ditegakkan, seperti titah para pendahulu kita dulu”
“Iya mas, aku ngerti, tapi apa ndak berbahaya tho? Partai itu kan bahaya tho mas, aku denger dari ibu-ibu waktu beli sayur..Katanya, partai itu njelimet, sarang korupsi” Ujar sang istri. Suasana kembali mendadak hening.
“Aku takuttt mas’eeee…takuuutt kalo terjadi sesuatu sama mas’e..aku ndak mau kehilangan mas’eeee” Pecah tangis si istri, Wahyu pun gelagapan.
“Ini apa tho dek, ndak ada apa-apa! Mas itu cuma mikir, partai ini sudah kadung banyak peminat, harus di besarkan, dan untuk itu, butuh dana..itu lho yang jadi pikiran”
“Oh..maap mas’e, tak kira seperti jaman tahun 65 dulu..aku takut”
Jendral Kiplan Zonk mendengarkan pembicaraan sadapan itu dengan khusyuk sambil manggut-manggut dan terkikik-kikik.
“Ternyata pimpinan partai komunis itu cuma level rendahan, omongannya ndeso! Tidak seperti dugaanku bakal licin, penuh isyarat dan sulit, tak kusangka, pekerjaan ini menjadi teramat mudah! Hok hok hok” Ujar Sang Jendral sambil ngemil buah salak.
“Partai ini, butuh ideologi yang kuat untuk tumbuh dek, lha sekarang itu sulit, anak mudanya pingin cuma enak thok, geleges geleges beres..gitu lho, giliran tak suruh cari dana bangun but-but kaya temannya pak Ahok itu pada ndak mau”