“Kenapa ndak mau mas’e?”
“Lhaa, ya gitu lah, mereka mintanya bangun di emol, lha duite siapa mau bangun but-but di emol. Lha mampunya ya di desa, pinggir penggilingan sawah atau ya kalau ndak, ya di perkampungan, pinggir rel kereta. Kata mereka, yo emoh pak, but-but itu fesyen, fesyen ya di emol”
“Lha, terus gimana?”
“Wah ya susah dek. Partai ku kan partai wong cilik bener, pengennya gandeng tukang jualan kayak aku gini, petani atau buruh pabrik. Tapi, mereka mana ngerti caranya cari duit, ya anak-anak muda itulah yang akhirnya ku gandeng”
“Hmmm..Petani..buruh…tukang…hmm…tak salah lagi..” Ujar sang Jendral dalam hati, masih sambil ngemil buah salak, dengan telinga yang melebar bak daun kelor.
“Kalau elemen-elemen itu di gabungkan, pasti tujuan kita tercapai, dagangan pasti tambah laris, tambah pemasukan untuk bayar kontrakan, kesejahteraan teman-teman pasti naik, gitu lho dek harapanku”
“Sek tho mas’e..elemen itu apa?”
“Wedus”
“Oh.. wedus..”
“Halah, yo pokoknya rumit lah..yang jelas PKI harus tumbuh”
Mendengar kata “PKI”, wajah sang Jenderal seketika memerah, membayangkan posisi yang akan diraihnya, dengan mudah.