Ilustrasi - panahan di Senayan (kfk.kompas.com/Michael Ruru)
Dua jam sudah
Aku bolak-balik keluar-masuk bilik hijau
Mamak bertanya
Sedang apa dirimu
Â
Aku sedang bingung, aku ingin menulis
Tulislah... tulislah apa yang ingin kau tulis
Tak bisa Mamak
Menulis butuh otak
Â
Otakku sudah tidak ada, kubuang dahulu kala
Bodohnya kau
Mengapa kau buang benda kesayangan Tuhan
Sedari kukecil, aku selalu diledek oleh teman-teman sekolah
Â
Katanya aku tak berotak
Bahkan untuk menjawab hitungan pun aku tak sanggup
Lebih baik buang otakmu di tong sampah, itu kata temanku dahulu Mamak
Carilah otakmu, carilah di tong sampah belakang rumah
Â
Siapa tahu masih ada
Â
Ah mamak, otakku masih ada
Angkat perlahan, pakai sajadah untuk angkat benda kesayangan Tuhan
Baik mamak, sudah kuangkat dan kumasukkan lagi di dalam kepalaku
Bagus, menulislah, bekerjalah
Â
Kenapa kau menangis, bukankah otakmu sudah kau temukan
Sudah Mamak
Lalu mengapa menangis
Teman-teman kerjaku Mamak, mereka menghinaku
Â
Mereka menghinaku, buat apa pakai otak
Otak tak dibutuhkan lagi
Jika kau bekerja, pakailah lidah
Jika kau menulis, tak usah pakai apa-apa
Â
Hah, berani benar menghina
Itu ciptaan Tuhan paling rumit dan paling mulia
Di mana kau kerja sebenarnya bodat
Ingin kutempeleng dan kugosok lidah mereka
Â
Di Senayan, Mamak
Â
Qatar 28 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H