Krisna -- sahabatku dan sepupu Thea menepuk pundakku. Â Wajahnya tersenyum senang.
"Aku yakin dia sudah cerita ke kamu. Â Aku senang, itu berarti dia sudah percaya total sama kamu."
"Sebentar," aku mencoba memastikan. Â "Maksudmu... kemampuan Thea?"
"Persis," Krisna tersenyum lagi. Â "Itu maksudku."
Ya, saat itu Thea -- di kamarnya - bercerita padaku bahwa dirinya terkadang memimpikan masa depan.
"Cuma mimpiku itu acak, jadi aku nggak bisa nentuin kronologi kejadian mana yang duluan. Â Bisa saja yang aku mimpikan sekarang baru akan terjadi bertahun-tahun lagi sementara yang aku mimpikan minggu depan malah akan segera terjadi," pungkasnya.
Aku hanya tertegun mendengar ceritanya.
Aku baru tau ada orang yang bisa seperti itu...
Aku memandang kamarnya yang baru kali ini kumasuki.
Kamar ini penuh dengan...
Apa namanya ya?
"Dreamcatcher," jawab Thea seolah bisa membaca pikiranku. Â "Dreamcatcher dipercaya suku asli Amerika sebagai penangkap mimpi indah dan penangkal mimpi buruk . Â Banyaknya dreamcatcher di sini menandakan banyaknya mimpi buruk yang kulihat belakangan ini. Â Mimpi-mimpi itu aku tulis di jurnal ini, aku beri tanda nomor berapa, dan nomornya aku gantung di bawah dreamcatcher," lanjutnya sembari memperlihatkan sebuah buku diari.
Aku kembali tertegun...
* * *
Satu tahun lalu...
"Apa hanya perasaanku, sepertinya dreamcatcher di sini makin banyak," kataku.
Thea terdiam dan memandangku dengan tatapan sedih yang baru kali ini kulihat.
"Thea?" tanyaku. Â "Ada apa? Â Kenapa pandanganmu seperti itu? Â Mimpi buruk apa yang kamu lihat?"
Thea tak menjawab. Â Ia hanya mematung memandangku.
Sepuluh detik, tiga puluh detik, hingga satu menit ia seperti itu hingga tiba-tiba gadis berambut hitam panjang tersebut menamparku keras.
Keras sekali.