Thea.
Sudah 3 tahun aku mengenal gadis berambut hitam panjang tersebut.
Gadis dengan sorot mata teduh.
Gadis yang aneh, kata orang-orang.
Bukan penyendiri tapi sering terlihat menyendiri.
Bukan pemurung tapi sering terlihat murung.
Dan...
Banyak yang mengatakan Thea terobsesi dengan benda bernama dreamcatcher.
"Dia sering banget beli dreamcatcher."
"Buat apaan sih?"
"Apa ada hubungannya sama ritual?"
"Percaya sama jimat?"
"Jangan-jangan..."
Akupun kerap dicecar pertanyaan mengapa Thea seolah terobsesi dengan dreamcatcher. Â Mendapat pertanyaan seperti itu, aku biasanya tertawa kecil sambil mengangkat bahu.
Mereka tak perlu tahu yang sebenarnya...
* * *
Dua tahun lalu...
"Ini, kamu liat," Thea mengangkat kelopak matanya dengan tangan dan memperlihatkan bagian atas bola matanya. Â Terlihat pola seperti bulan sabit berwarna keperakan di bagian atas iris matanya -- kiri dan kanan. Â "Aku nggak tau apa mata orang lain seperti ini juga - maksudnya ada pola sabit seperti mataku - masih belum nemu soalnya."
"Aku juga baru kali ini liat yang seperti itu," gumamku keheranan. Â "Coba, di mataku ada nggak?"
Setelah memeriksa kedua mataku, Thea menggeleng.
"Sejauh ini baru aku dan ayahku yang di matanya ada pola seperti ini," ujarnya.
"Mungkin keturunan?" tebakku. Â "Krisna gimana? Â Dia sepupumu 'kan?"
"Sudah aku periksa, nggak ada juga."
"Oh."
Pandangan Thea kini menerawang -- jauh. Â Sudah kebiasaannya seperti itu, dan sejujurnya aku suka memandangnya seperti itu. Â Ia tampak seperti seseorang yang datang dari masa depan dan sedang rindu rumahnya.
"Dani," panggilnya. Â "Ada sesuatu yang mau aku beritahu ke kamu."
"Hm? Â Soal apa?"
"Aku."
* * *
"Thea sudah cerita ke kamu 'kan?"
"Hah? Â Apa?" aku tergagap. Â Aku menutup artikel internet yang sedang kubaca, artikel yang membahas precognitive dream.
Krisna -- sahabatku dan sepupu Thea menepuk pundakku. Â Wajahnya tersenyum senang.
"Aku yakin dia sudah cerita ke kamu. Â Aku senang, itu berarti dia sudah percaya total sama kamu."
"Sebentar," aku mencoba memastikan. Â "Maksudmu... kemampuan Thea?"
"Persis," Krisna tersenyum lagi. Â "Itu maksudku."
Ya, saat itu Thea -- di kamarnya - bercerita padaku bahwa dirinya terkadang memimpikan masa depan.
"Cuma mimpiku itu acak, jadi aku nggak bisa nentuin kronologi kejadian mana yang duluan. Â Bisa saja yang aku mimpikan sekarang baru akan terjadi bertahun-tahun lagi sementara yang aku mimpikan minggu depan malah akan segera terjadi," pungkasnya.
Aku hanya tertegun mendengar ceritanya.
Aku baru tau ada orang yang bisa seperti itu...
Aku memandang kamarnya yang baru kali ini kumasuki.
Kamar ini penuh dengan...
Apa namanya ya?
"Dreamcatcher," jawab Thea seolah bisa membaca pikiranku. Â "Dreamcatcher dipercaya suku asli Amerika sebagai penangkap mimpi indah dan penangkal mimpi buruk . Â Banyaknya dreamcatcher di sini menandakan banyaknya mimpi buruk yang kulihat belakangan ini. Â Mimpi-mimpi itu aku tulis di jurnal ini, aku beri tanda nomor berapa, dan nomornya aku gantung di bawah dreamcatcher," lanjutnya sembari memperlihatkan sebuah buku diari.
Aku kembali tertegun...
* * *
Satu tahun lalu...
"Apa hanya perasaanku, sepertinya dreamcatcher di sini makin banyak," kataku.
Thea terdiam dan memandangku dengan tatapan sedih yang baru kali ini kulihat.
"Thea?" tanyaku. Â "Ada apa? Â Kenapa pandanganmu seperti itu? Â Mimpi buruk apa yang kamu lihat?"
Thea tak menjawab. Â Ia hanya mematung memandangku.
Sepuluh detik, tiga puluh detik, hingga satu menit ia seperti itu hingga tiba-tiba gadis berambut hitam panjang tersebut menamparku keras.
Keras sekali.
PLAKK! Â PLAKK!!
"Th... Thea?" aku terkejut, tak menduga ia akan bertindak seperti itu.
"Keluar kamu...," desisnya. Â "Keluar dan jangan pernah kemari lagi."
"T... tapi...," aku tak mengerti. Â "Ap... apa salahku?"
"Keluar kamu, Dani. Â KELUAR!!" teriaknya.
* * *
"Jadi kamu nggak pernah tau kenapa Thea terobsesi sama dreamcatcher? Â Kamu kan pernah dekat sama dia."
Semenjak putus dengan Thea, aku sering mendapat pertanyaan seperti itu. Â Dan aku tak pernah serius menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
"Masa' kamu nggak tau sih?" beberapa masih mencoba mendesakku.
Aku hanya tersenyum dan - sekali lagi - mengangkat bahu.
Apa kamu percaya apa yang akan kukatakan?
Apa kamu percaya bahwa Thea bisa melihat masa depan?
* * *
Tujuh hari lalu...
Ada satu pesan WhatsApp masuk ke ponselku, pesan dari seseorang yang masih sangat berarti bagiku, pesan dari nama yang masih kusimpan di memori ponselku meski kami sudah lama tak berkomunikasi.
Pesan dari Thea, gadis dengan pola bulan sabit di iris matanya.
"Dani, apa kabar?
Pesan ini sudah lama aku tulis di wa-ku dan sekarang tinggal send.
Saat kamu baca pesan ini, kamu mungkin sudah dapet kabar kalo aku kecelakaan dan dalam perjalanan ke Rumah Sakit --"
Belum selesai aku membaca pesan tersebut, Krisna meneleponku.
"Dani!" serunya. Â "Thea kecelakaan! Â Sekarang lagi dibawa ke Rumah Sakit!"
* * *
Tiga hari sudah kepergian Thea.
Untuk kesekian kalinya aku membaca pesan terakhir yang Thea kirimkan padaku.
"Dani, aku minta maaf sudah menyakiti hatimu waktu itu. Sungguh, aku hanya ingin kamu melupakanku.
Bisa memimpikan kejadian masa depan terkadang jadi siksaan bagiku. Â Tidak masalah apabila mimpi yang kulihat adalah mimpi indah, aku ikut berbahagia. Â Tapi bila yang kulihat adalah mimpi buruk, akupun ikut sedih walau aku tak mengenal orang yang ada di mimpiku.
Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa kebanyakan hidup orang-orang seperti kami adalah berakhir mati karena rasa sedih, mati karena sedih melihat kesedihan, dan mati karena sedih tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan kesedihan itu.
Dan rasa sedih itu makin kuat jika aku mengenal orang dalam mimpi tersebut.
Itulah sebabnya aku berusaha tidak akrab dengan seseorang, aku takut bisa melihat hal-hal buruk yang akan menimpanya.
Terutama kamu.
Aku tidak mau melihatmu ada dalam mimpi burukku. Â Karena itu aku bermaksud membuatmu sakit hati dan benci padaku.Â
Dani, aku hanya mohon satu hal padamu.
Jika aku mati, lupakan aku.
Sama sekali lupakan aku.
Jangan pernah engkau datang ke makamku.
Lupakan aku, Dani.
Lupakan aku."
Air mataku menetes.
* * *
Hujan baru saja berhenti, menyisakan genangan air di mana-mana.
Saat ini aku berada di pemakaman, tempat peristirahatan terakhir Thea.
Aku turun dari mobilku, tangan kananku menggenggam seikat bunga yang aku tahu menjadi bunga kesukaan Thea semasa hidupnya.
Kamu boleh memintaku melupakanmu, Thea.
Tapi bagaimana jika aku tak bisa melupakanmu?
Titik-titik hujan yang tersisa membasahi bajuku.
Jalanan yang becek membuat aku beberapa kali melompati genangan-genangan kecil.
Pemakaman tersebut meski terletak di tengah kota -- seolah membawaku ke dunia asing, dunia yang tenang dan jauh dari segala ingar-bingar.
Namun segala ketenangan itu mendadak berubah. Â Aku mendengar lalu melihat sekelompok orang yang sedang mengejar seseorang.
"Pembunuh!" teriak kelompok orang tersebut dengan membawa benda apa saja. Â "Rampok!"
Pemandangan itu sungguh menakutkan, sama menakutkannya dengan senjata tajam yang dipegang tangan kanan orang yang dikejar tersebut. Â Senjata itu berlumur darah.
Aku terkesiap!
"Bang, awas rampok! Â Minggir" terdengar seruan para pengejar.
"Minggir, Bang! Â Bahaya!"
"Minggir!"
"Hei, minggir lu!" orang yang dikejar itu berteriak padaku. Â "MINGGIR!! Â Lu mau mati?!" Â Tangan kanannya bergerak, tangan yang menggenggam senjata tajam.
Brug!
Aku tak tahu apa yang terjadi sepersekian detik tadi, yang kutahu adalah aku kini terbaring memandang langit.
Aku terjatuh? Â Kapan? Â Kenapa?
Mataku mengerjap. Â Otakku berusaha mencerna apa yang barusan terjadi.
Apa yang terjadi?
"Udah gua bilangin minggir lu nggak minggir. Â Mampus lu!"
Itu suara orang yang dikejar tadi.
Orang dengan senjata tajam di tangannya.
Senjata berlumur darah!
Apa aku...
Diserang?
Hujan kembali turun.
Masih dalam posisi terbaring, aku merasa tubuhku semakin ringan seiring penglihatan, pendengaran, dan kesadaranku yang semakin lemah. Â Suara-suara di sekitarku semakin jauh.
"Tolongin dia!"
"Dia disabet sama rampok tadi!"
"Cepetan tolong!"
"Ada kain nggak?"
"Bang! Â Bang! Â Sadar, Bang!"
"Dia masih hidup?"
"Panggil polisi sama ambulan, cepetan!"
Makin lama semua terasa makin jauh, namun sebelum semuanya benar-benar gelap dan sunyi, aku sempat menangkap satu suara yang sangat kukenal.
"Dani, bukankah aku sudah minta kamu melupakanku?"
Suara itu -- lebih tepatnya bisikan itu - terdengar sangat pilu.
-Jakarta, 19 Juni 2017-
Catatan:
- Dalam budaya asli Amerika, dreamcatcher adalah benda buatan tangan berdasar lingkaran willow, yang ditenun jaring longgar. Dreamcatcher tersebut kemudian dihiasi dengan barang-barang pribadi dan suci seperti bulu dan manik-manik. Â Menurut legenda bangsa Indian, Dreamcatcher itu punya banyak arti dan biasanya digunakan untuk menangkap mimpi-mimpi yang bagus. Â Sedangkan untuk mimpi buruk dipercaya akan terjebak di tali temalinya lalu hilang beserta terbitnya matahari. Â Sumber
- Thea diambil dari Theia, dewi penglihatan/pemandangan bangsa Yunani kuno. Sumber
Tulisan ini dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini. Â Disclaimer selengkapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H