Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Efemeral #2 : Kenyataan

30 November 2015   09:06 Diperbarui: 30 November 2015   09:09 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Sebelumnya :

"Efemeral" berkisah tentang Restu yang pada suatu pagi terbangun dan mendapati kenyataan bahwa jiwa alias kesadarannya menempati tubuh seseorang bernama Bagus.  Ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh aslinya, Restu menelepon keluarganya dan mendapat kabar bahwa dirinya sudah dinyatakan meninggal dunia.  Kenyataan itu membuat Restu terpukul.  Jiwanya tak bisa kembali pulang ke tubuhnya.  Apa yang akan Restu lakukan?

CHAPTER 2

Hal pertama yang kulakukan saat membuka mata pagi itu adalah melihat sekeliling sambil berharap bahwa apa yang terjadi kemarin hanya mimpi.

Tapi tidak.

Kamar ini masih sama seperti kemarin, luas dan dilengkapi segalanya; televisi, pendingin udara, lemari es, serta komputer.  Sementara tempat tidur dimana aku berbaring saat ini masih tempat tidur paling nyaman yang pernah kurasakan.

Benar-benar mewah.

Dan aku sadar bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Ini benar-benar nyata.

Saat ini jiwaku menempati tubuh seorang lelaki muda bernama Bagus, dan aku bergidik.

Aku bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela kamar, saat ini sekitar jam 4 pagi.  Dari kejauhan sayup terdengar suara muazin mengumandangkan azan Subuh dengan merdunya.

"...ash-shalatu khairum minan naum..."

Aku tersenyum getir.

...sesungguhnya shalat itu lebih baik daripada tidur...

Aku teringat percakapanku dengan Bu Sutirah kemarin malam.

* * *

"Jadi, Mas Bagus beberapa kali mengalami kejadian seperti ini?" tanyaku saat menikmati makan malam yang disajikan Bu Sutirah.

Perempuan tua itu mengangguk. Bagus - pemilik tubuh yang kutempati ini - ternyata sudah beberapa kali mengalami apa yang disebut sebagai 'kesurupan'.

"Kalau sudah begitu, saya mesti jagain dia bener-bener, Pak," lanjut Bu Sutirah.  "Soalnya kebanyakan yang masuk ke tubuhnya itu nggak baik, mereka selalu melakukan hal-hal yang bisa merusak tubuh Mas Bagus.  Mereka pun cuma bisa pergi setelah diusir."

Aku terdiam mendengarkan cerita Bu Sutirah dengan seksama.

"Pak Restu, perasaan saya bilang kalau Bapak bukan orang jahat.  Baru kali ini kejadiannya seperti ini, karena itu tolong jaga tubuh Mas Bagus sampai jiwanya bisa kembali."

Aku hanya mengangguk. Kini rasa penasaranku terusik, karena itu dengan hati-hati aku bertanya pada perempuan tua di hadapanku ini,

"Mohon maaf, Bu.  Kalau boleh saya tahu, apa yang terjadi semalam?"

Bu Sutirah memandangku.  Lama.

"Maaf, Bu," aku merasa tak enak hati.  "Nggak apa-apa kalau Ibu nggak mau cerita."

"Nggak apa-apa, Pak," sahut Bu Sutirah cepat.  "Terus-terang saya merasa mungkin ini semacam hukuman buat saya yang tidak merawat Mas Bagus dengan baik selama ini."

"Maksud Ibu?"

"Semalam Mas Bagus pulang dalam keadaan mabuk berat."

"Ma... mabuk?" kepalaku mendadak terasa pening.  Aku tak membayangkan 'diriku' ternyata melakukan hal seperti itu.

Bu Sutirah mengangguk.

"Sebenarnya hampir setiap malam Mas Bagus pulang dalam keadaan mabuk.  Jika sudah begitu ia akan berteriak-teriak di depan pagar dan tak akan berhenti sebelum saya membawanya masuk.  Teriakannya sangat menganggu tetangga di sini, karena itu..." perempuan tua itu tampak ragu.

"Karena itu?" tanpa sadar aku bertanya sebelum kemudian aku tersadar.  "Astaga!  Maaf, maaf, Bu.  Tak sepantasnya saya bertanya seperti itu, saya minta maaf."

"Nggak apa-apa," Bu Sutirah tersenyum.  "Setiap kali Mas Bagus keluar rumah dan belum pulang hingga tengah malam, saya selalu tidur di teras, menunggu Mas Bagus pulang."

Aku terhenyak!

Manusia macam apa si Bagus ini?! rutukku dalam hati.

"Bukan, Pak.  Bukan Mas Bagus yang nyuruh saya tidur di luar," Bu Sutirah seolah bisa membaca pikiranku.  "Itu kemauan saya sendiri biar saya bisa tahu kapan Mas Bagus pulang."

Aku bergidik ngeri.

"Semalam Mas Bagus pulang dalam keadaan mabuk berat," lanjut Bu Sutirah.  "Tapi kali ini mabuknya benar-benar parah karena untuk berdiri pun ia bahkan tak sanggup.  Gilanya lagi, teman-temannya menggeletakkan Mas Bagus begitu saja di depan pagar kemudian meninggalkannya begitu saja."

Tubuhku semakin menggigil, semakin ngeri membayangkan apa yang 'diriku' perbuat selama ini.

"Susah payah saya membawa Mas Bagus ke kamarnya, membersihkan badannya, kemudian mengganti pakaiannya dan membiarkannya beristirahat,"  Bu Sutirah menghela napas - berat.  "Selanjutnya saya tidak tahu apa yang terjadi selama Mas Bagus beristirahat.  Saya hanya tahu bahwa tadi pagi tubuh Mas Bagus sudah diisi orang lain yaitu Pak Restu."

Aku ikut menghela napas dan menutup wajah dengan kedua tangan.

Orang seperti apa kamu, Bagus?

Kami berdua terdiam dalam keheningan, semua hanyut dalam pikiran masing-masing.

"Bu," aku akhirnya bangkit.  "Saya mau sholat dulu."

"Sho... sholat?" perempuan tua itu tampak kebingungan.  Kegelisahan jelas tergambar di wajahnya.

"Ya.  Kenapa, Bu?"

"Saya... saya... nggak tau mesti gimana, Pak Restu," ia semakin gelisah dan bingung.  "Bukannya saya nggak suka ada orang sholat di rumah ini, tapi... aduh..."

"Kenapa?  Ada apa, Bu?"

"Ini demi kebaikan Mas Bagus, Pak Restu.  Saya minta maaf, tapi saya diberitahu bahwa Mas Bagus sering kesurupan karena jiwanya kosong.  Kekosongan itulah yang menarik perhatian roh-roh di sekitarnya karena roh-roh itu sebenarnya mencari rumah baru setelah tubuh sebelumnya mengalami kematian.  Saya juga diberitahu bahwa tingkah aneh Mas Bagus saat kesurupan sebenarnya merupakan upaya penyesuaian antara tubuh Mas Bagus dengan roh barunya.  Saat proses penyesuaian itu keduanya - terutama roh - merasa lelah sehingga sering keluar permintaan makanan dan minuman yang tak masuk akal agar roh tersebut bisa mendapat cukup tenaga untuk melakukan penyesuaian."

Aku hanya bisa terdiam, mencoba memahami apa yang perempuan tua itu ucapkan.

"Dan saya kuatir jika Pak Restu mengerjakan sholat, jiwa Pak Restu akan makin kuat dalam tubuh Mas Bagus.  Saya kuatir Mas Bagus nggak bisa kembali ke tubuhnya."

"Ya, Tuhan," aku mendesah lirih.

"Saya minta maaf, Pak Restu.  Tapi ini demi kebaikan Mas Bagus.  Dalam situasi seperti ini, setiap upaya mendekatkan diri kepada Tuhan hanya akan membuat jiwa Mas Bagus sulit kembali ke tubuhnya."

Aku tak bisa berkata-kata, semuanya masih terlalu berat buatku.

Inilah kenyataannya sekarang, jiwaku - entah bagaimana caranya - masuk ke tubuh seseorang yang sama sekali berbeda dengan keseharianku.

Ampuni aku, Tuhan!

Aku sungguh tak tahu apa yang harus kulakukan.

* * *

"...Allahu Akbar, Allahu Akbar..."

Bait-bait terakhir azan Subuh itu menyadarkanku dari ingatan tentang percakapanku semalam dengan Bu Sutirah.  Kegamangan kembali menyergap diriku.

Demi kebaikan Bagus supaya jiwanya bisa kembali ke tubuhnya, aku tidak boleh sholat.

Tapi... aku sudah terbiasa sholat, aku tak bisa meninggalkannya begitu saja.

Aku terjebak dalam perang batin!

Ini tubuh pinjaman, Restu!  Bukan tubuhmu!

Tapi apa yang kulakukan juga demi kebaikan tubuhmu juga, Bagus!

Mengertilah!

Kamu yang harus mengerti!

Restu, kamu sudah mati!

Mungkin kamu juga sudah mati, Bagus!

Perang batin ini membuatku serasa gila, rasanya aku tak sanggup menanganinya.

Apa?!

Apa yang harus kulakukan?!

(Bersambung)

Perlahan, Restu mulai mengenal karakter Bagus, namun peringatan dari Bu Sutirah membuat Restu terjebak dalam situasi dilematis!  Inilah kenyataan yang harus ia hadapi - terjebak dalam tubuh orang lain yang sama sekali berbeda.  Bagaimana Restu menghadapi kenyataan ini?

"Efemeral", hadir seminggu sekali setiap Senin.

Efemeral #3 : Pertemuan   |   Efemeral #1 : Takdir

Catatan Penulis :

Efemeral [ks, yunani] : tidak kekal, hanya bersifat sesaat

sumber gambar

 Tulisan ini dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.  Disclaimer selengkapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun