Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Impian: Andi

30 Juli 2015   09:13 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:12 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Semuanya jadi Rp 38.400, Bu."

Namaku Andi, aku bekerja di sebuah minimarket sebagai kasir.

"Kembalinya Rp 600, terimakasih, Bu.  Semoga datang kembali."

Dua tahun lalu aku meninggalkan kampung halamanku - sebuah dusun di Jawa Barat - untuk mengadu nasib di ibukota.

"Selamat datang, Bapak.  Silakan."

Aku masih ingat betul, waktu itu kantor demi kantor - baik besar maupun kecil - aku datangi dengan bekal ijazah SMK-ku, berharap setidaknya ada satu lowongan pekerjaan untukku.

Pekerjaan untuk mewujudkan impianku.

Impianku sederhana saja, ingin bekerja dengan menggunakan pakaian rapi, sepatu mengkilap, dan dasi - seperti yang sering dilihat dan diceritakan Nisa tentang pria idamannya.

"Nisa pengen punya pacar seperti yang di sinetron itu, A," ujarnya suatu hari padaku.

Impian Nisa adalah impianku karena aku mencintainya.

Sangat mencintainya.

Dan kini, setidaknya aku sudah bekerja dengan pakaian rapi dan mengenakan seragam - meski tanpa dasi dan sepatu mengkilap.

* * *

"An, kamu dipanggil Pak Jun," ujar kak Tia, seorang gadis cantik berhijab rekan kerjaku.  Aku memanggilnya kak Tia karena ia lebih dulu bekerja di sini meski usianya hanya beberapa bulan lebih tua dariku.

"Sekarang, Kak?" tanyaku yang dibalas dengan anggukan.

Aku bergegas melangkahkan kaki menuju ruangan Pak Jun yang letaknya di dekat gudang minimarket ini.

"Masuk," sapa Pak Jun setelah aku mengetuk pintu ruangannya yang selalu terbuka.  "Duduk, Ndi," lanjutnya.

"Pak Jun manggil saya?" tanyaku setelah duduk di hadapannya.  Ada semacam rasa cemas yang merayapiku.

"Ya," jawab Pak Jun singkat sembari membetulkan kacamata dan dasinya.

Dasi...

Kapan aku bisa seperti Pak Jun?

Kerja pake dasi...

"Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" suara Pak Jun menyadarkanku.  "Delapan bulan?  Sembilan bulan?"

"Awal bulan nanti pas sembilan bulan, Pak," aku masih menebak-nebak ke mana arah pembicaraan ini.

Pak Jun mengangguk-angguk.

"Jadi gini," ujarnya pelan yang makin menambah kecemasanku.  "Sebelumnya saya bener-bener minta maaf.  Ini bukan kemauan saya, tapi permintaan langsung dari owner yang bermaksud melakukan efisiensi karena beberapa bulan ini pendapatan kita tidak sesuai target..."

Aku lemas.

Aku sudah tidak menyimak lagi apa yang dikatakan Pak Jun.  Aku hanya tertunduk sembari memandang sepatuku, sepatu murah yang meski tidak mengkilap namun menjadi saksi bisu perjuanganku selama ini.

Aku di-PHK!

* * *

Empat bulan berlalu semenjak kontrak kerjaku diputus.

Aku masih bertahan tinggal di ibukota, mengandalkan uang tabungan yang sedianya akan kugunakan untuk meminang Nisa.

Untuk menghemat pengeluaran, aku pindah ke kos yang lebih murah.  Beberapa barang yang kumiliki juga sudah kujual.

Semuanya untuk satu tujuan.

Impian Nisa.  Impianku.

"Gimana, Ndi?  Sudah ada kabar baik?" tanya Edi, sahabat sekaligus tetangga kosku.

Aku hanya menggeleng pelan.

Edi tampak prihatin,

"Sabar aja.  Nyari kerja sekarang ini memang tambah susah."

Aku memperhatikan Edi yang sedang mempersiapkan perlengkapan kerjanya; sebuah radio tape murahan, kecrekan, dan...

"Kalo lu mau, kita bareng aja," tegur Edi tiba-tiba.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Yah kerja kaya' gue gini, ngamen.  Muka lu bersih, pasti bisa dapet banyak duit.  Maaf lho, Ndi.  Itu juga kalo lu mau."

Aku terdiam.

"Penawaran selalu terbuka kok.  Santai aja, nanti hasilnya kita bagi dua.  Dah ah, gue jalan dulu, ntar keburu banyak saingan."

* * *

Hari demi hari berlalu, uang tabunganku makin menipis sementara surat lamaran yang kukirimkan belum ada satupun yang terjawab.

Aku cemas.  Semakin cemas.

Aku yang sudah berhemat kini semakin hemat.  Setiap pagi aku hanya sarapan sepotong roti yang kubeli di kios Ucok seharga Rp 2.000 untuk sekadar meringankan rasa laparku.  Siangnya aku membeli nasi di warung makan Mbak Darmi dengan siraman sedikit kuah sayur, tanpa lauk apapun.

Dengan uang yang tersisa, aku masih tak putus asa mengirim surat lamaran ke manapun.

Impian Nisa.  Impianku.

Aku harus dapat pekerjaan!

* * *

"Gue bawa makanan buat lu," cetus Edi sepulang ngamen sambil menentang satu kantong plastik.  "Nggak banyak sih soalnya Mas Rian-nya bikin ini cuma ngabisin sisa nasi."

Nasi goreng!

Tak terasa airmataku menitik memandang nasi goreng yang dibawa Edi sahabatku.

Nasi goreng...

Bagiku sekarang, nasi goreng adalah makanan mewah.

"Terimakasih, Ed," ujarku lirih sebelum kemudian memasukkan sesendok demi sesendok makanan mewah itu ke dalam perutku.

Sahabatku ini hanya tersenyum.

"Jujur, gue antara kagum dan kasian sama lu.  Lu masih berkeras mencapai keinginan lu, apapun resikonya.  Kalo gue, asli gue udah nyerah."

Aku kini tersenyum pahit memandang Edi.  Sebungkus nasi goreng yang ia bawa sudah membuatku mengambil keputusan.

"Aku udah nyerah, Ed."

Edi memandangku tak percaya.

"Tapi...?" tanyanya keheranan.  "Impian lu?  Terus, lu mau ngapain?"

Aku memandang Edi dengan tatapan penuh harap,

"Penawaran lu yang waktu itu masih berlaku 'kan?"

"Masih sih.  Tapi lu serius?" Edi tak percaya.  "Lu yakin?"

Aku mengangguk.

"Yakin?" tegas Edi lagi.  "Beneran?"

Aku kembali mengangguk.

Impianku...

* * *

"Ya selamat sore, Bapak Ibu Kakak semua," sapaku pada kerumunan pengunjung kedai makan tersebut.

Edi segera memainkan musik dari radio tape murahannya, memperdengarkan lagu dangdut yang bahkan aku sendiri tak tahu judulnya.

Kami berdua - aku dan Edi - meliuk-liukkan tubuh mengikuti irama lagu, kadang aku bahkan menampilkan gerakan vulgar dengan pakaian ketat yang membungkus seluruh tubuhku.  Aku tak menghiraukan tatapan jijik, menghina, dan ketakutan dari beberapa pengunjung.

Aku hanya butuh uang.

Uang.  Tak peduli bagaimana caraku mendapatkannya atau bagaimana cara mereka memberikannya.

Sembari meliukkan tubuh diiringi musik dari radio tape dan kecrekan, aku menyorongkan kantong plastik pada satu demi satu pengunjung, berharap selembar atau sekeping dua keping uang masuk ke dalamnya.

"Terimakasih, Bapak Ibu Kakak semua," kami meninggalkan kedai tersebut dan pindah ke kedai berikutnya.

Setelah beberapa lama menjalani profesi ini, aku mulai terbiasa dengan pakaian ketat, rok mini, sepatu hak tinggi, make-up, serta rambut dan bulu mata palsu.

Apa yang Edi katakan dulu benar, kulitku dan wajahku yang bersih membuat sebagian orang kebingungan.

"Itu banci apa cewek beneran sih?"

Ya, inilah pekerjaanku sekarang, pengamen banci.  Begitu sore tiba, aku dan Edi mengenakan pakaian wanita lalu berdandan semenor mungkin.  Kami kemudian berkeliling dari satu tempat ke tempat lain menampikan liukan tubuh yang kadang vulgar.

Semua demi uang.

Namun dalam hati kecilku masih ada sekeping harapan.

Impian Nisa.  Impianku.

Akankah terwujud?

Sayup terdengar suara sekelompok pengamen melantunkan lagu karya Koes Plus,

♫ But now everything it's only a dream

A dream that never comes

I only wait till true love will come.

Why do you love me so sweet and tenderly

I'll do everything to make you happy...♬

Aku tersenyum pahit.

Catatan Penulis :

Agar pembaca bisa lebih menghayati cerita ini, berikut saya sertakan lagu yang pernah dibawakan Koes Plus "Why Do You Love Me" yang dibawakan ulang oleh Rio Febrian di sini.

sumber gambar : dokpri menggunakan Sony DSC P-32 dan dikolase menggunakan Adobe Photoshop bersama gambar dari 7-themes.com

Tulisan ini dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun