"Penawaran selalu terbuka kok. Santai aja, nanti hasilnya kita bagi dua. Dah ah, gue jalan dulu, ntar keburu banyak saingan."
* * *
Hari demi hari berlalu, uang tabunganku makin menipis sementara surat lamaran yang kukirimkan belum ada satupun yang terjawab.
Aku cemas. Semakin cemas.
Aku yang sudah berhemat kini semakin hemat. Setiap pagi aku hanya sarapan sepotong roti yang kubeli di kios Ucok seharga Rp 2.000 untuk sekadar meringankan rasa laparku. Siangnya aku membeli nasi di warung makan Mbak Darmi dengan siraman sedikit kuah sayur, tanpa lauk apapun.
Dengan uang yang tersisa, aku masih tak putus asa mengirim surat lamaran ke manapun.
Impian Nisa. Impianku.
Aku harus dapat pekerjaan!
* * *
"Gue bawa makanan buat lu," cetus Edi sepulang ngamen sambil menentang satu kantong plastik. "Nggak banyak sih soalnya Mas Rian-nya bikin ini cuma ngabisin sisa nasi."
Nasi goreng!