"Malam, Pak Ali. Asepnya ada?" tanyaku pada penjaga kantor Production House tempat temanku bekerja.
Pak Ali, penjaga kantor itu hanya mengangguk. Akupun segera naik. Production House ini terdiri dari lima lantai. Lantai satu ditempati oleh tim marketing, lantai dua diperuntukkan bagi staf administrasi perusahaan, dan lantai tiga merupakan pusat kegiatan pasca-produksi. Di lantai tiga inilah Asep bekerja, dia adalah seorang penyunting gambar yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan tersebut. Tugas mengharuskannya bekerja tak kenal waktu sebab deadline pekerjaan yang seringkali teramat ketat. Karena mengambil tempat di sebuah ruko, tidak ada lift di sini. Akses antar lantai hanya mengandalkan tangga, dan tubuh tambunku sejujurnya sulit menerima kondisi ini.
Kalo bukan karena Fini, boro-boro...
Kira-kira 30 menit lalu Asep menelepon dan meminta bantuanku untuk menyampaikan pada Fini resep obat yang baru saja ditebusnya. Resep itu merupakan obat penenang dan harus diberikan segera karena ibu tiri mereka - Asep dan Fini - sedang sangat membutuhkan obat tersebut agar bisa istirahat dengan tenang tanpa diganggu penglihatan-penglihatan aneh yang sering menghampiri wanita setengah baya itu. Entah sudah berapa banyak anak tangga yang kupijak ketika sayup telingaku menangkap suara langkah kaki sepatu berhak tinggi. Suara sepatu wanita.
Dari lantai tiga?
Ada cewek?
Kliennya Asep?
Langkah kaki itu terdengar cepat, sepertinya si pemilik langkah sedang terburu-buru. Langkah kaki itu semakin lama semakin dekat. Hanya beberapa langkah sebelum tiba di lantai tiga, aku akhirnya bertemu dengan si pemilik langkah, dan dugaanku benar adanya.
Bener kan dia cewek...
Cantik pula,
Kira-kira berapa umurnya ya?
Aku bisa mengatakan wanita tersebut cantik karena dia sempat menghentikan langkahnya sejenak ketika melihatku. Wanita itu mengenakan mini casual dress berwarna merah dengan sepatu hak tinggi berwarna putih, kurasa. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai hingga punggung.
Kulitnya putih, dan matanya...
...oriental sekali. Aku suka...
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala padanya, namun ia tak membalas dan melanjutkan langkah cepatnya menuruni tangga. Kami berpapasan dan samar tercium wangi lembut eau de perfume yang digunakannya. Aku tersenyum karena aku sangat hafal wangi tersebut. Dalam hati aku merutuk.
Beruntung banget si Asep malam-malam gini kerja sama cewek cakep.
Aku segera memasuki lantai tiga ruko tersebut. Terdengar suara berisik dari salah satu ruang editing di lantai itu. Asep rupanya masih sibuk bekerja - tanpa menutup pintu.
"Sep!" teriakku.
Suara itu kemudian berhenti.
"Sep!" panggilku lagi.
"Siapa?" tanya Asep setengah berteriak.
"Gue. Budi," balasku.
Tak lama kemudian, temanku itu muncul dari salah satu ruangan. Wajahnya pucat dan tampak sangat kelelahan. Kebetulan aku tadi sempat membeli minuman vitamin C dosis tinggi yang segera kuberikan padanya.
"Thanks," ujarnya.
"Cape banget lu?" tanyaku.
Asep menghela nafas.
"Deadline buat besok," terasa nada kesal dalam suaranya, "mana materinya banyak banget, lagi."
"Tapi klien lu 'kan cantik," gurauku.
"Emang ngaruh?" tanyanya acuh tak acuh.
"Ya penyemangat lah, lu bisa cuci mata liat pemandangan yang mulus-mulus," aku tertawa. "Pusing liat kerjaan, lu tinggal nengok sedikit aja dapet paha. Beres 'kan?"
"Haah, sok tau lu!" umpatnya dengan emosi yang sudah menurun dibanding tadi. "Emang lu tau klien gue?"
"Ya taulah," sahutku menepuk dada. "Gue 'kan barusan papasan sama dia."
"Eh?" Asep terlihat bingung mendengar perkataanku barusan. "Lu bilang apa tadi?"
"Gue barusan papasan sama klien lu di tangga. Orangnya cantik, oriental, rambutnya panjang, kulitnya putih, pake baju merah, wangi pula. Haah, gue aja masih inget. Tapi sori ya, masih nggak sebanding sama Fini hahaha..."
"Tunggu, tunggu," potong Asep. "Kapan lu papasan? Di mana?"
"Yaelah, barusaaan di tangga," aku mulai kesal. "Lu main-main aja ah."
Pada saat itu aku baru tersadar bahwa wajah temanku tersebut berubah pias.
"Lu kenapa?" tanyaku.
Dan tiba-tiba aku teringat apa yang dia ceritakan beberapa minggu lalu.
"Dulu di kantor tempat gue kerja katanya pernah ada orang bunuh diri, cewek. Orangnya cantik, rambutnya panjang, dan dia suka pake baju warna merah."
Mendadak buku kudukku berdiri.
"Cewek itu gantung diri di depan kamar mandi lantai tiga, tengah-tengah antara tangga lantai empat dan lantai tiga. Gosipnya karena dia hamil dan pacarnya nggak mau nikahin dia."
Wajah Asep masih tampak pucat. Dengan tangan gemetar diserahkannya resep obat yang baru ditebusnya padaku,
"Ini obatnya, tolong kasih Fini ya. Thanks, Bud."
Usai memberikan obat, Asep berlari masuk ke ruangannya meninggalkan aku sendirian.
"Sep!" teriakku.
"Sori, gue ada deadline!" serunya dari dalam ruangan.
Aku menyumpahinya namun ia bergeming dan meneruskan pekerjaannya.
Sialaan!
Aku berjalan menuju tangga dan kini berhenti sejenak di ujungnya. Bulu kudukku kembali meremang. Lampu di lantai dua dan lantai satu sepertinya sudah dimatikan sehingga praktis suasana di bawah menjadi sedikit gelap.
Sialan! SIALAN!
Suasana sungguh hening. Aku menoleh ke kiri.
Kamar mandi!
Aku teringat cerita bahwa di sekitar tempat inilah wanita itu dulu menggantung dirinya. Mataku berputar liar ke arah tangga antara lantai tiga dan empat meski perasaanku menolak melakukannya. Tuk. Tak. Tuk. Tak tuk.
Suara sepatu!
Langkah kaki itu terdengar, asalnya dari lantai empat. Aku ingin berlari namun kakiku rasanya terkunci.
Lari! Lari!!
Tak tuk tak tuk. Langkah itu makin lama makin cepat dan jelas terdengar seiring dengan keringat dingin yang membanjir deras dari tubuhku. Tak tuk tak tuk.
Makin dekat.
Makin dekat.
Lari, Budi!
LARI!!!
Mulutku komat-kamit membaca doa apa saja yang terlintas di benakku, rasa takutku makin menjalar, mataku - meski aku tak ingin - tetap terpaku mengarah ke sumber suara yang makin lama makin cepat dan jelas. Srrrrss! Tiba-tiba terdengar suara kran air menyala, tepat saat hidungku mulai mencium wangi eau de perfume yang sangat aku kenal. Wangi yang belum lama tadi aku temui.
"HWAAAA!"
Dengan satu sentakan dan teriakan kuat, akupun berlari kencang menuruni anak tangga, tak peduli apapun hingga aku berhasil tiba di lantai satu - tepat di depan pak Ali yang hanya senyum-senyum.
"Ketemu ya?" tanyanya santai sembari memperlihatkan ekspresi yang buatku luar biasa mengesalkan.
Akupun kembali memakinya dengan sejuta sumpah serapah, namun dia kemudian memberi tanda dengan kepalanya agar aku melihat ke arah yang ditunjukannya, tepat di belakangku. Aku terkesiap, menggeleng, dan ketakutan.
Liat! Nggak apa-apa, Pak Ali memberi isyarat.
Aku menggeleng.
Liat aja!
Masih dengan wajahnya, pak Ali meyakinkanku bahwa tidak ada yang perlu dikuatirkan. Dengan takut-takut aku pun menoleh ke belakang. Aku hanya melihat kelebatan bayangan yang bergerak ke atas menaiki tangga, kali ini tak ada suara. Hening. Aku bermaksud lari tapi tangan pak Ali menahanku.
"Tunggu sebentar lagi," katanya kemudian menghitung, "satu... dua... tiga!"
Aku terlompat! Tepat pada saat itu aku mendengar jeritan yang disusul dengan tangisan seorang wanita. Sayup aku menangkap beberapa kata dalam bahasa China.
"Selalu seperti ini," kata pak Ali. "Selalu seperti ini berulang-ulang, saya sudah hafal. Jadinya seperti ngeliat film."
Penjaga kantor ini kemudian menatapku,
"Yang nangis itu ibunya. Dia nangis liat anaknya bunuh diri. Anaknya yang pake baju merah itu, kamu pasti sudah ketemu dia tadi. Nah, sekarang, mau liat ke atas?" tanyanya menyeringai sambil tangannya tetap mencengkeram tanganku.
"Gila lu, Pak!" seruku melepaskan diri dari cengkeramannya dan berlari tunggang-langgang. "Gue nggak mau ke kantor ini lagi, nggak peduli ada apa. Pokoknya nggak!"
Pak Ali hanya terkekeh. Dan tepat sebelum aku meninggalkan tempat itu, sayup aku mendengar jerit ketakutan temanku Asep.
-Jakarta, 17 April 2015-
Catatan penulis :
Cerita ini diilhami kisah turun-temurun yang dituturkan seorang teman saya. Dia bercerita bahwa daerah tempat tinggalnya dulu (ratusan tahun lalu) merupakan tanah milik seorang meneer asal Belanda. Semasa hidupnya, tuan meneer ini punya kegiatan rutin diantaranya bersepeda pagi-pagi mengelilingi tanahnya. Setelah kematiannya, penduduk sekitar mengaku terkadang mendengar bel dari sepeda tuan meneer tersebut, beberapa bahkan mendengar tuan meneer berbicara pada pekerja-pekerjanya. Hal tersebut terjadi berulang-ulang.
Pada akhirnya, hal tersebut menjadi lazim dan dianggap biasa oleh masyarakat sekitar hingga turun-temurun.
Teman saya mengemukakan teori bahwa daerah tempat tinggalnya merupakan salah satu titik persinggungan antara masa kini dan masa lalu sehingga apa yang sebetulnya dilihat dan didengar oleh masyarakat sekitar situ adalah benar kehidupannya sang meneer yang pada saat bersamaan sedang menjalani hidupnya seperti biasa - belum mati.
Sementara saya berpendapat bahwa alam semesta atau lebih tepatnya lingkungan sekitar kita mempunyai kemampuan merekam peristiwa yang terjadi di sekitarnya untuk kemudian diputar kembali, itu sebabnya kenapa fenomena penampakan biasanya berupa pengulangan peristiwa yang sama, dan itu sebabnya kenapa banyak penampakan terjadi di tempat-tempat yang terdapat pohon atau bangunan tua, dsb karena pohon atau bangunan tua itu 'menyimpan' apa yang sudah dia rekam.
Sila sharing jika punya pendapat lain.
Cerita Tengah Malam #3 Sumber gambar : behance.net Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H