Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Masih Ada Cinta #2 : Rasa itu Masih Ada

12 Maret 2015   07:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:47 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1426100488552517561

Cerita Sebelumnya :

Nay dan Angga janjian untuk kuliah bareng, dan saat ini gadis itu sudah kembali ke Jakarta - meninggalkan Angga di kotanya sementara pemuda tersebut bersiap-siap untuk menyusul Nay.  Bagaimana kelanjutan kisah cinta mereka?

CHAPTER 2

"Angga!"

Angga yang sedang membereskan beberapa barang sejenak berhenti dan menoleh mendengar panggilan itu.  Dilihatnya seorang gadis berkacamata berdiri di depan pintu kamarnya sambil tersenyum.

"Ami," sapa Angga.

"Hai, Ngga.  Lagi beres-beres?" tanya Ami melihat apa yang Angga lakukan.  Beberapa buku pelajaran SMU tampak tergeletak di lantai, sebagian sudah diikat dan dimasukkan ke dalam kardus.  Tampak pula beberapa kardus yang sudah tertutup dan disusun rapi di sudut kamar.  "Keliatannya kamu lagi ngepak buku-buku sekolah yang sudah nggak kepakai."

Angga mengangguk.  Ia kemudian menepuk-nepuk tangannya yang kotor terkena debu.

"Begitulah, yah sambil ngisi waktu sebelum aku ke Jakarta."

Pemuda ini kemudian memandang Ami,

"Kita ngobrol di bawah?  Di sini kotor soalnya."

"Nggak masalah sih ngobrol di mana, tapi di sini aja deh," sahut Ami cepat.  "Kita ngobrol sembari kamu beres-beres."

Gadis itu kemudian duduk di depan pintu,

"Aku juga iseng ke sini soalnya nggak ada kegiatan di rumah.  Maaf ya nggak ngasih tau dulu."

Angga tertawa mendengar perkataan Ami barusan,

"Kita yang biasa bangun pagi trus pergi ke sekolah malah jadi bingung begitu lulus ya," ujarnya seraya melempar sebuah buku tulis yang halamannya sudah terisi penuh.  "Aku juga.  Senengnya ngerasain lulus cuma sehari-dua hari, ngerasa bebas bisa bangun siang dan nggak ngapa-ngapain seharian.  Tapi habis itu aku bosen."

"Bohong, kamu," Ami kembali tersenyum, "kamu 'kan ada Nay, bisa telpon-telponan sama dia."

"Hahah, iya juga sih, tapi lebih banyak dia yang nelpon aku," Angga meringis.  “Pasti dia yang lebih banyak kangen ke aku.”

"Ih, sombongnya.  Aku bilangin Nay lho biar dia berhenti nelpon kamu."

"Bukan sombong, emang faktanya kok."

"Beneran lho aku telpon dia," ujar Ami sembari mengambil ponselnya bermaksud menelepon Nay sementara Angga hanya senyum-senyum.  Beberapa detik kemudian, raut wajah Ami berubah nakal.  "Kamu selamet, handphonenya nggak aktif."

Angga tertawa.

"Ngomong-ngomong, Ami, apa rencanamu nanti?" tanyanya.

"Maksudnya?" Ami tak mengerti.

"Itu... mau kuliah atau kerja atau mau langsung nikah...  Hei!  Aduh, duh!  Aduh!" pemuda itu tak sempat menyelesaikan ucapannya karena Ami keburu melempar benda-benda yang ada di dekatnya.

"Biar rasa!" cibir Ami. "Itu akibatnya kalo sembarangan ngomong."

"Sakit, nih," Angga meringis sambil mengusap-usap kepalanya yang kena timpuk sebuah kubus rubik.  "Semoga suamimu nanti tabah...  Aaa!  Nggak nggak!  Iya, iya, ampun!  Ampuun!" Angga berteriak tatkala dilihatnya Ami bersiap melempari dirinya dengan benda-benda di sekitarnya.

"Awas kamu ngomong gitu lagi," ancam Ami.

Angga meringis.  Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan dan mengambil segulung lakban untuk menutup satu lagi kardus yang sudah penuh terisi.

"Tapi serius, apa rencanamu?" Angga mengulang pertanyaannya.

"Hmm...," Ami menerawang, "sejujurnya, aku belum punya rencana."

"Hah?  Serius?" Angga terbelalak, "Bohong, kamu."

"Yaa, bukannya nggak ada rencana sih, cuma belum pasti aja," jawab Ami.  "Aku mau kuliah."

Angga bersorak,

"Naah gitu dong.  Kamu tadi bikin orang cemas aja ngomong 'nggak punya rencana'.  Masa' seorang Ami nggak punya rencana."

"Seorang Ami?" Ami mengerutkan keningnya, "Emang di mata kamu, aku ini gimana?"

“Ami?  Hm…” Angga pura-pura berpikir. “Seorang yang well-prepared, selalu punya rencana, selalu punya target, dan nggak percaya sama kata-kata ‘kita jalani aja apa adanya’.  Bener ‘kan?”

“Cuma itu?” tanya Ami. “Nggak ada yang lain?”

“Maksudnya?”

“Cuma itu?” cecar Ami.

“Kok ‘cuma’?” Angga mendadak bingung dengan sikap Ami.  “Ya, seperti itulah kamu, paling nggak di mataku.”

“Oh,” desah Ami, “kirain kamu punya pandangan lain tentangku.”

"Pandangan lain?  M... maksudnya?" Angga tergagap karena untuk sejenak mereka beradu pandang.

Ami memandang Angga dengan tatapan yang sulit digambarkan, dan entah mengapa Angga merasa dadanya bergemuruh.  Ada satu perasaan yang tidak bisa ia gambarkan saat ini.

Tatapannya…

Kenapa rasanya seperti Nay yang menatapku?

Kenapa?

Kenapa jadi seperti ini?

Kenapa Ami memandangku seperti itu?

Untuk beberapa saat lamanya mereka berpandangan.  Angga tidak berani memastikan makna tatapan Ami saat ini, meski jauh di lubuk hatinya ia merasa ada satu pesan yang ingin Ami sampaikan padanya.

Dan pada saat itu Ami pun merasakan hal yang sama seperti  Angga.

Kok?

Kok jadi seperti ini?

Angga...

Jangan!

Kamu nggak boleh tau!

Gadis itu terkesiap, ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan jantung yang berdegup kencang.  Beberapa saat kemudian Angga pun seperti tersadar, namun ia tak mengeluarkan sepatah kata. Begitu pula dengan Ami.

Mereka berdua hanya duduk membisu.  Suasana menjadi terasa canggung.

Untuk beberapa lama kesunyian menyelimuti ruangan tersebut.

Tik.  Tik.  Tik.

Bahkan detak jam meja terdengar jelas saat ini.

Perasaan tadi… apa? Angga merasa hatinya dipenuhi tanya yang sebetulnya ia tidak ingin tahu jawabannya.

Angga, jangan sampai kamu tau perasaanku, Ami merasa gundah.

Di tengah kebisuan itu, mendadak ponsel Ami berbunyi.  Deringannya yang terdengar begitu nyaring membuat Ami maupun Angga sama-sama terlompat saking kagetnya.

Sedetik, dua detik, lima detik.

Terlihat Ami memandang nama yang terpampang pada layar ponselnya, jelas bahwa ia berusaha menata perasaannya agar si pemanggil di seberang sana tak curiga.

"Hei! Tumben!" sapanya berusaha terdengar riang. "Aku?  Aku lagi di rumah teman...  Nggak, nggak kenapa-napa kok...  Halah, kamu ini…  Hahah lebay, lebay..."

Angga masih terdiam seraya berusaha mencerna dengan siapa Ami bicara.

"Ih, sok tau kamu," terdengar lagi suara Ami. "Jangan suka sok tau gitu ah, dosa tau!" lanjutnya kemudian tertawa lepas.

Siapa yang nelpon ya? batin Angga.

Jangan-jangan itu... Nay?

Selama percakapan, sesekali Ami melirik Angga yang terdiam di tempatnya dan berusaha untuk tidak membuat suara.  Ketika mereka berpandangan, Ami memberi isyarat dengan telunjuk di di depan bibirnya.

Beberapa menit kemudian...

“Oookay!  Sampai ketemu di sana.  Bye!”

Tap!

Ami menutup ponselnya.  Raut wajahnya sudah terlihat biasa, seolah tak ada apa-apa barusan.

"Itu tadi Putri yang nelpon," ujarnya. "Dia sama Septi ngajak aku jalan-jalan.  Ternyata mereka juga iseng nggak tau harus ngapain," lanjutnya sambil tersenyum.

Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya sambil menepuk celana jeans yang dikenakannya,

"Aku pulang ya," ujarnya.

"Oke," Angga menjawab singkat. "Maaf banget, aku lupa ngasih minum."

"Hahah, nggak masalah.  Bye, Ngga."

Ami sudah beberapa langkah meninggalkan pintu dan hendak menuruni tangga ketika ia kemudian berbalik dan kembali ke depan pintu kamar Angga.

"Angga," panggilnya, "omonganku soal rencana tadi belum selesai."

"Oh?" Angga bingung, tak menyangka bahwa Ami akan kembali.  "Gitu ya?"

"Ya," Ami mengangguk pelan.  "Dan sebenernya… hm… aku sama Nay sudah janjian untuk kuliah di kampus yang sama."

Angga terbelalak.

Pada saat itu ia tak tahu bagaimana perasaannya mendengar kabar tersebut; apakah gembira atau terkejut.

Ami… sudah janjian kuliah bareng Nay?

Berarti...

...kita bertiga nanti kuliah di kampus yang sama?

Ia masih berusaha mencerna ucapan Ami barusan, menduga-duga barangkali dirinya salah dengar.

"Kamu... nanti kuliah bareng Nay?" tanyanya ragu.

Ami mengangguk, dan Angga sungguh-sungguh tak tahu apa yang harus ia lakukan.  Namun saat ini hanya satu yang jelas-jelas ia rasakan dan sadari.

Aku... deg-degan?

Ami melanjutkan ucapannya,

"Aku... aku juga sebenernya masih agak bingung harus gimana.  Tapi... aku udah terlanjur janji..."

Angga, aku sekarang tau kalo aku masih suka kamu.

Aku tau kamu pacar Nay, tapi...

Nay, aku minta maaf

Kamu belum tau kalo aku juga suka sama Angga…

Nay, maafkan aku...

Keduanya kembali mematung, saling pandang, dan tenggelam dalam kegundahan masing-masing.

(Catatan penulis : musik latar dimulai dari adegan ketika Ami yang bermaksud menuruni tangga mendadak kembali ke kamar Angga dan menceritakan rencananya.  Musik untuk adegan ini saya pilihkan instrumen "Arigatou Minna" yang diambil dari anime "Sket Dance". Selamat berimajinasi!)

(Bersambung)

Benar-benar di luar dugaan!  Nay ternyata juga sudah janji dengan Ami untuk kuliah bareng.  Itu artinya mereka bertiga akan berada di kampus yang sama!  Akankah ada masalah di kemudian hari mengingat Ami ternyata belum bisa melupakan perasaannya terhadap Angga?  Ikuti chapter berikutnya!

“Masih Ada Cinta”, terbit seminggu sekali setiap hari Kamis...

Masih Ada Cinta #3 : Sebuah Pertemuan |   Masih Ada Cinta #1 : Kembali ke Kotaku

Sumber gambar : favim.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun