"Ada hot tea?" tanya Mia yang disambut dengan anggukan, "Oke, saya pesan hot tea satu. Â Kamu pesan apa, Hans?" Mia menatapku.
Entah kenapa saat itu intuisiku mengatakan bahwa Mia sedang merasakan satu keletihan yang teramat sangat, tubuhnya juga sedikit bergetar, dan...
...sepertinya ia menahan sakit.
"Hans?" Mia mengulang pertanyaannya.
"Oh?" aku tersadar dan segera memandang daftar menu yang ada di tanganku, "Saya pesan hot coffe saja."
"Baik, Pak," pramusaji itu mencatat pesanan kami, "Satu hot tea dan satu hot coffee. Â Ada pesanan lain? Â Croissant, barangkali?" tawarnya.
"Sementara itu saja dulu, Mbak," aku dan Mia kompak menyahut kemudian saling pandang dan tersenyum.
Setelah pramusaji itu berlalu, aku memandang sekeliling. Â Suasana cafe itu cukup nyaman dan tenang dengan sofa empuk yang membuatku enggan beringsut. Â Di sudut cafe nampak seseorang yang sedang menyesap minumannya sambil matanya tak lepas menatap laptop. Â Di sudut lain aku melihat satu keluarga muda sedang asyik menikmati makanan pesanan mereka sementara sang anak tertidur pulas dalam gendongan babysitter-nya.
"Suasanya nyaman juga ya?" tegur Mia seraya mengambil kamera untuk sedikit mengabadikan suasana cafe tersebut.
Aku mengangguk maklum. Â Memotret adalah hobi Mia, bahkan sebelum kami menikah 21 tahun lalu. Â Terlebih, pertemuan kami pun bermula saat ia memotret karya-karyaku yang disertakan dalam sebuah pameran.
Sreet!