“Eh? Oh hmpff iya iya…” Mina berusaha menahan tawanya, tapi ia tak bisa. Tawanya pecah lagi.
“Ada apa sih?” tanyaku.
Mendadak Aida berbalik dan meninggalkan kami.
“Huh! Nggak jadi deh!” katanya.
“Aida!” teriak Mina, “Tunggu! Iz, tolong jagain sepedaku.”
Mina kemudian mengejar sepupunya. Tak jelas apa yang mereka bicarakan, tapi mereka lantas kembali ke tempatku menunggu. Aida nampak masih bersungut-sungut.
“Apa liat-liat?!” sentaknya padaku.
Astaga! Kita baru kenal tapi dia sudah bisa marahin aku!
“Ha? Nggak boleh?” balasku, “Kalo nggak mau diliat ya sudah, jauh-jauh sono!”
“Siapa takut!” Aida kemudian berbalik lagi.
“E e eh tunggu!” seru Mina yang kemudian memelototiku.
“Si Faiz lagi ngelindur[1], Ai,” lanjut Mina, “Udah nggak usah ditanggepin, anggap aja dia nggak ada. Sudahlah, kamu jadi ‘kan belajar seped…”
Ucapan Mina mendadak berhenti, rupanya ia kelepasan! Buru-buru Mina menutup mulutnya. Tapi terlambat, aku sekarang mengerti kenapa tadi Mina tertawa.
“Oo jadi kamu mau belajar naik sepeda?” tanyaku meledek Aida.