Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Faiz & Aida #1 : Kenangan di Kota Kecil

3 Juli 2014   20:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:38 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1404367303363140807

CHAPTER 1

Tegal – Jawa Tengah, sekitar jam 4 sore…


Aida,” ia mengulurkan tangan padaku.


Faiz,” balasku menyambut uluran tangannya.

Bulan itu bulan puasa, itulah perkenalan pertamaku dengannya, usia kami masih 13 tahun saat itu.  Aida adalah sepupu dari Mina – tetangga dan teman sepermainanku sejak kecil.


“Itu apa?” Aida menunjuk batang tebu yang sudah kupotong kecil-kecil.


“Ini tebu.  Kamu nggak tau?” tanyaku.

Aida menggeleng dan memandang Mina.


“Iz, Aida kan tinggal di Jakarta.  Mungkin di sana nggak ada tebu,” tukas Mina.


“Ada kok!” Aida sewot, “Aku sering minum.  Aku cuma nggak tau karena tebunya sudah dipotong kecil-kecil.”


“Ya ya maaf,” kata Mina,”Kirain di Jakarta nggak ada tebu.”

Aida cemberut dengan mulut yang dimonyongkan.


“Eh, ngomong-ngomong kalian mau ke mana bawa-bawa sepeda?” tanyaku pada Mina.

Mendadak Mina cekikikan sementara Aida tampak salah tingkah.  Aku makin bingung,


“Kok ketawa?”


“Mina!” seru Aida.


“Eh?  Oh hmpff iya iya…” Mina berusaha menahan tawanya, tapi ia tak bisa.  Tawanya pecah lagi.


“Ada apa sih?” tanyaku.

Mendadak Aida berbalik dan meninggalkan kami.


“Huh!  Nggak jadi deh!” katanya.


“Aida!” teriak Mina, “Tunggu!  Iz, tolong jagain sepedaku.”

Mina kemudian mengejar sepupunya.  Tak jelas apa yang mereka bicarakan, tapi mereka lantas kembali ke tempatku menunggu.  Aida nampak masih bersungut-sungut.


“Apa liat-liat?!” sentaknya padaku.


Astaga!  Kita baru kenal tapi dia sudah bisa marahin aku!


“Ha?  Nggak boleh?” balasku, “Kalo nggak mau diliat ya sudah, jauh-jauh sono!”


“Siapa takut!” Aida kemudian berbalik lagi.


“E e eh tunggu!” seru Mina yang kemudian memelototiku.


“Si Faiz lagi ngelindur[1], Ai,” lanjut Mina, “Udah nggak usah ditanggepin, anggap aja dia nggak ada.  Sudahlah, kamu jadi ‘kan belajar seped…”

Ucapan Mina mendadak berhenti, rupanya ia kelepasan!  Buru-buru Mina menutup mulutnya.  Tapi terlambat, aku sekarang mengerti kenapa tadi Mina tertawa.


“Oo jadi kamu mau belajar naik sepeda?” tanyaku meledek Aida.


Sudah umur segini masih belum bisa naik sepeda...

Membayangkan hal itu saja sudah membuat aku ingin tertawa keras-keras, tapi aku tahan sekuat mungkin.  Saking kuatnya, wajahku jadi tampak aneh.  Dan Mina tahu itu.


“Iz!” seru Mina, tangannya bersiap memukulku.

Aku pun buru-buru kabur meninggalkan mereka berdua sambil melepaskan tawa yang dari tadi kutahan.  Tanpa sadar aku mengambil sepotong kecil tebu dan memasukkannya ke mulutku, menghisap potongan kecil tebu itu, merasakan rasa manis menjalari lidah dan kerongkonganku.


Eh?

Kemudian aku tersadar bulan apa ini..


“HUAAA!”

* * *

5 tahun kemudian…


“Kamu yakin, Iz?”

Mina memandangku tak percaya.  Dia mengulangi pertanyaannya,


“Kamu yakin mau kuliah di Jakarta?”

Aku mengangguk mantap.


“Tapi… kenapa? ” tanyanya, “Di sini ‘kan ada kampus yang lumayan bagus.”


“Simpel,” jawabku, “Aku ingin melihat ibukota.  Aku ingin tahu seperti apa rasanya tinggal di Jakarta dan jadi orang Jakarta.”

Mina menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Kamu kehilangan ‘kan?  Kamu kehilangan dia?” desahnya.


“Siapa?” tanyaku tak mengerti.


“Jangan pura-pura, Faiz.  Aku tau kamu kehilangan Aida.”

Aku terkesiap.


“Sejak pertama datang, setiap bulan Ramadhan Aida selalu ke sini dan menghabiskan waktu bersama kita,” gumam Mina, “Tapi kita tau sudah dua tahun ini dia nggak datang.  Dan kamu kehilangan dia.  Kamu kangen sama dia.  Ya ‘kan, Iz?”

Aku masih terdiam, tak tahu harus berkata apa.


“Meski cerita Aida tentang Jakarta memang menarik, aku yakin itu cuma alasan kamu aja mau jadi orang kota.  Yang sebenarnya adalah, kamu mau mengejar Aida.  Kamu nggak mau kehilangan dia,” Mina melanjutkan ucapannya.

Gadis itu menghela nafas dan beranjak meninggalkan tepi sungai yang pernah menjadi tempat favorit kami bertiga.  Ia menghampiri sepedanya dan aku memandangnya,


“Kamu masih suka naik sepeda ya?” tanyaku, “Kenapa nggak naik motor aja sih?”


“Kamu sendiri kenapa nggak naik motor juga?” balas Mina, “Pulang yuk!”


“Yuk!”

Matahari semakin condong ke barat, kurang-lebih satu jam lagi waktu buka puasa akan tiba.  Kami mengayuh sepeda beriringan melalui jalan desa, kadang sambil bertukar cerita atau sekadar bicara hal-hal tak jelas yang anehnya membuat kami tertawa bersama.  Sesekali  kami harus menyediakan jalan bagi pengguna jalan yang lainnya – sepeda motor, becak, dll.

Tepat beberapa menit sebelum beduk Maghrib, kami tiba di rumah Mina.


“Aku duluan,” tukas Mina sementara aku turun dan menuntun sepedaku – kembali ke rumahku yang berada persis di seberang rumahnya dan hanya dipisahkan oleh sebidang tanah lapang.

Namun baru beberapa langkah aku berjalan, terdengar suara Mina memanggilku,


“Iz!  Faiz!”

Aku menghentikan langkah dan menoleh.  Tampak Mina berlari menyusulku.


“Ada apa?” tanyaku keheranan.


“Faiz,” ujarnya, “Aku tau kamu kehilangan Aida.  Aku juga…”

Setelah mengatur nafasnya yang sedikit memburu karena berlari menyusulku tadi, Mina melanjutkan ucapannya,


“Aku nggak bisa ngelarang kamu untuk kuliah di Jakarta karena itu mimpimu.  Tapi aku minta kamu jangan lupa sama obrolan orangtua kita dulu.”

(Bersambung)

Catatan Penulis :


Mohon masukan dari pembaca, cerita ini enaknya dijadiin cerbung atau miniseri ya?  Tadinya tulisan ini mo dijadiin miniseri (4-6 episode) biar habisnya pas deket-deket Lebaran berhubung nama dua tokoh utamanya agak-agak berbau Lebaran (Aida & Faiz).  Tapi kalo dipikir-pikir, cerita ini punya potensi konflik yang meski nggak seberat "Kejarlah Cinta" dan "Kisah Dua Hati", tapi berpotensi menarik.  Cuma kalo jadi cerbung, saya khawatir pembaca nanti begah disuguhi cerbung beruntun dari bulan Maret kemarin...

Jadi, gimana?  Cerbung atau miniseri?  Thx masukannya...

Faiz & Aida #2 : Rumah Bercat Kuning

Sumber gambar : dokpri menggunakan Sony Alpha A330, diambil di sekitar Kantor Pos Tegal tepatnya wilayah Kota Lama.

[1] Ngelindur (jawa) : mengigau, meracau

Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun