Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Cinta #19 : Rahasia yang Terkuak

7 November 2014   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:24 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415320796669682932

Cerita Sebelumnya :

Nay akhirnya ke Jakarta bersama Novan.  Di perjalanan, Novan sudah mengingatkan agar Nay jujur saja pada Angga tentang jati diri yang sebenarnya.  Sementara itu Angga yang kesepian ditinggal Nay membuka-buka album foto lawas - bersama Ami.  Dan sebuah foto di album itu membuat mereka berdua dipenuhi tanda tanya.

CHAPTER 19

Tepat pada saat itu ponsel Angga berdering.

Novan?

Angkat?

Nggak?

Ponsel terus berdering sementara Angga masih belum mengambil keputusan.

Malesnya kalo nanti ternyata ngobrolin hal yang nggak penting.

Tapi… jangan-jangan ini soal Nay?

Begitu mengingat Nay, Angga pun memutuskan untuk menjawab telepon tersebut.

“Halo?” sapanya.

Tapi terlambat, panggilan sudah diputus.

Sementara di dalam kereta, Nay – si penelepon - semakin gelisah.

Aduuuh Angga, kamu kok nggak ngangkat teleponku sih?

Gadis itu mengembalikan ponsel Novan yang tadi dipinjamnya untuk menelepon Angga.

“Gimana?” tanya Novan.

“Masih nggak diangkat,” Nay menggerutu.

“Pegang aja dulu handphone-ku, barangkali kamu nanti mau nyoba telepon Angga lagi.”

“Thanks, Van.”

* * *

Di foto itu dengan jelas tertulis :

“Angga dan Nayra, hari pertama masuk TK”

Angga dan Ami sama-sama tertegun.

“…apa… Ibu salah tulis?” gumam Angga.

“Coba kita liat foto lainnya,” ujar Ami.  Ia pun sama masygulnya dengan Angga.

Mereka berdua melihat foto-foto lainnya, tapi hasilnya sama saja.

“Novan, Angga, dan Nayra di pantai”

“Novan vs Nayra.  Angga jadi wasitnya”

“Nayra manjat pohon”

Kepala Anga semakin pening melihat foto-foto tersebut.

Kenapa begini?

Ami pun tak kalah bingungnya melihat foto-foto itu.

Di sini foto Nayra semua.

Nggak ada satupun foto Nay.

Apa Nay bohong?

Jangan-jangan Nay bukan teman kecilnya Angga?

Jangan-jangan... Nayra-lah yang sebenarnya teman masa kecil Angga…

“Angga…” panggil Ami, “Aku bingung…”

Angga menghela nafas.

“Aku juga sama bingungnya.  Di sini sama sekali nggak ada foto Nay…”

Saat itu entah bagaimana perasaan Angga.

Suasana menjadi tidak enak, Ami menyadari hal itu.

“Angga, aku pulang dulu ya…” ujarnya.

Angga mengangguk pelan, ia kemudian mengantar gadis berkacamata itu ke teras.

“Sudahlah Ngga, jangan terlalu dipikirin ya.  Bye…”

Ami menjalankan motornya meninggalkan tempat tersebut, meninggalkan Angga dalam kebingungan dan sejuta tanya.

Kenapa Nayra yang ada di foto, bukan Nayla?

Kamu itu siapa, Nay?

* * *

Stasiun Gambir, Jakarta…

Arya - ayah Nay - sudah sejak tadi menunggu kedatangan anak gadisnya.  Saat ini dirinya sedang menikmati secangkir kopi di salah satu café stasiun Gambir.

Ponselnya berdering,

“Ya sayang, kamu sudah sampai?  Ayah ada di café Green Corvus.  Iya, yang deket Molland Bakery itu.  Ya, ya, Ayah tunggu ya.”

Arya tersenyum – pandangannya menerawang.

Saras, anak kita sudah semakin dewasa.  Dia sudah berani pulang sendiri ke Jakarta, ya meskipun sama temen sih.

Ah seandainya saja…

“Ayah!”

Panggilan itu menyadarkan Arya dari lamunannya.  Ia melihat anak gadisnya datang dengan ditemani seorang pemuda yang kira-kira seumuran.

Nay menghampiri Arya dan mencium tangannya.

“Ayah,” katanya.

“Lana sayang,” sahut Arya, “Padahal baru empat bulan kamu nggak tinggal sama Ayah tapi kaya’nya kamu kok sudah lebih dewasa ya?”

Arya kemudian menoleh pada Novan.  Pemuda itu segera menyalami ayah kandung Nay tersebut,

“Om,” sapanya.

“Kamu?” tanya Arya.

“Saya Novan, Om.  Teman sekelas Nay, temannya Angga juga.”

“Ooo... ya ya ya.  Terimakasih sudah mau nemenin Nay ke Jakarta.”

“Nggak apa-apa, Om.  Kebetulan saya juga ada keperluan kok di sini.”

Mereka bertiga kemudian terlibat obrolan sembari menikmati cemilan ringan di café tersebut.  Selang 20 menit kemudian, Novan pamit.

“Ke mana?” tanya Nay, “Kamu ada saudara di sini?”

Novan tersenyum,

“Kebetulan ada.  Aku nginep di rumahnya.”

“Terus?  Katanya kamu mau ke tempat Nayra?”

Novan memandang cuaca di luar.  Terik.

“Besok pagi aja.  Kamu juga pasti capek pengen istirahat dulu ‘kan?”

Nay mengangguk.

“Oke,” katanya, “Besok pagi kita ketemu ya.”

Gadis itu kemudian menuliskan sesuatu di secarik kertas dan memberikannya pada Novan.

“Kamu tau tempat ini ‘kan?”

Novan menerima dan membaca isi kertas tersebut.

“Aku sudah searching di Google, aku juga udah pelajari rute ke sana dan perkiraan waktu tempuhnya.  Semoga aku nggak salah ngitung,” ujarnya sambil tersenyum pada Nay.

“Ini Jakarta,” Nay pun ikut tersenyum.

“Ya, ini Jakarta,” timpal Novan, “Katanya macetnya gila-gilaan.”

Nay mengulurkan tangan pada Novan yang kemudian dibalas oleh pemuda bertubuh tinggi itu.

“Sampai ketemu besok,” ujar Nay.

“Ya.  Sampai besok.”

Ponsel Novan berdering,

“Iya, iya.  Aku sudah sampai.  Sebentar aku turun.  Kamu ada di mana?”

Arya dan Nay memandang kepergian Novan.

“Teman sekelasmu ya?” tanya Arya.

“Iya, Yah,” jawab Nay.

“Keliatannya dia sudah tau,” lanjut Arya.

Nay mengangguk.

Arya tersenyum,

“Apa itu berarti kamu menyudahi sandiwaramu?”

Nay terdiam.

Arya menghela nafas.

“Lana, Ayah berharap kamu berhenti membohongi teman-temanmu.  Lebih baik kamu jujur sebelum semuanya jadi lebih buruk.”

Pada saat itu ponsel Nay berbunyi.  Ada satu pesan masuk.  Wajah Nay berubah cerah ketika melihat nama si pengirim pesan.

Angga!

Namun seketika wajah Nay berubah muram seusai membaca pesan yang dikirim pacarnya tersebut.

Maafkan aku, Angga…

Dipandanginya sekali lagi layar ponselnya, dibacanya sekali lagi pesan dari Angga,

“Aku baru aja liat foto-foto masa kecilku, dan ternyata kamu bukan teman masa kecilku.  Nayra-lah orangnya.  Nay, kamu sebenarnya siapa?”

Dan ribuan sesal menyesaki perasaannya.

(Bersambung)

Angga mengungkapkan kecurigaannya - tepat saat Nay sedang berada di kota asalnya!  Suasana tidak enak menyelimuti hubungan mereka berdua.  Bagaimana mereka menyelesaikan masalah tersebut?  Ikuti chapter berikutnya...

“Ada Cinta”, terbit dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jumat…

Ada Cinta #20 : Gundah |   Ada Cinta #1 : Siapa gadis Itu?

Sumber gambar : wallpaperswa.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun