Angga seorang siswa kelas XII akhirnya berpacaran dengan Nay yang mengaku sebagai teman masa kecilnya. Namun secara tak terduga Angga akhirnya mengetahui bahwa Nay selama ini berbohong. Gadis itu bukanlah teman masa kecilnya, melainkan Nayra, kembaran Nay yang merupakan teman masa kecil Angga. Dan ketika Nay ke Jakarta, secara diam-diam Angga menyusulnya dan mengetahui bahwa Nayra sudah meninggal.
CHAPTER 22
Kereta eksekutif itu melaju meninggalkan Jakarta.
Novan duduk di kursi tunggal baris paling depan, sementara Angga dan Nay duduk berdampingan di belakangnya. Sebetulnya Angga – yang masih kesal dengan kebohongan Nay – agak segan harus duduk berdampingan seperti ini.
Apa boleh buat, semua kursi sudah penuh.
Sepanjang perjalanan, Angga lebih banyak diam dan hanya menjawab pendek bila ditanya. Namun bukan hanya Angga yang bertingkah seperti itu, Nay pun sama. Rasa bersalah karena pernah berbohong pada pacarnya apalagi sampai ketahuan - membuat Nay tak berani memandang wajah Angga. Gadis itu lebih banyak memandang ke luar jendela.
Novan mengeluh melihat mereka berdua.
“Ini bakal jadi perjalanan yang nggak asik,” ujarnya sambil kembali memasang earphone dan mulai mendengarkan lagu-lagu dari pemutar MP3 miliknya.
* * *
”Angga. Angga...”
Suara Nay membuat Angga terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke arah Nay.
“Maaf banget, aku mau ke toilet,” lanjut Nay, “Kakimu bisa geser sebentar?”
“Oh,” Angga bangkit dari kursinya, memberi kesempatan pada gadis cantik itu untuk lewat.
“Makasih,” ucap Nay sembari menuju toilet.
Pintu toilet ditutup, Angga bermaksud kembali ke kursinya namun dicegah oleh Novan.
“Kenapa, Van?” tanya Angga.
“Sampe kapan kalian mau diem-dieman?” Novan balik bertanya.
“Maksudmu?”
“Nggak usah pura-pura nggak tau. Kamu pikir tindakanmu itu bagus? Nyuekin pacarmu sendiri...”
Angga menghela nafas.
“Van, kamu kan tau kalo dia sudah bohong sama kita.”
“Memang,” sahut Novan, “Tapi apa kamu tau alasannya?”
Angga tertegun.
“Itu…”
“Apa kamu pernah nanya kenapa dia sampe harus bohong sama kita?” potong Novan.
“Van…”
“Angga, masih ada hal-hal yang harus kamu tau tentang dia.”
Angga mulai meradang,
“Memangnya kamu tau kenapa dia sampe bohong ngaku-ngaku teman masa kecil kita sekaligus pura-pura amnesia?”
Novan memandang Angga. Tenang.
“Ya, aku tau.”
“Kamu…?” Angga tertegun, “Kapan?”
“Sejak pertama dia datang.”
“Dari mana kamu tau?” cecar Angga.
“Dari sini…,” ujar Novan menunjuk dadanya, “Terus sini, sini, dan sini,” lanjutnya sambil berturut-turut menunjuk kening, mulut, dan telinganya.
“Aku nggak ngerti,” tukas Angga.
“Itulah kamu. Selalu meledak-ledak dan mengikuti perasaan.”
Novan menatap Angga tajam dan melanjutkan ucapannya,
"Kamu harus paham bahwa kebohongan Nay selama ini masih bisa dimengerti, kalo kamu tau ceritanya. Jangan buat dirinya makin tersakiti dengan tingkahmu itu."
Terdengar suara ‘ceklek’ diikuti dengan terbukanya pintu toilet. Nay keluar dari toilet, wajahnya sudah terlihat lebih segar meski masih sedikit murung.
Novan kembali acuh tak acuh mendengarkan musik melalui earphonenya sementara Angga masih berdiri di tempatnya.
“Kamu… kok nggak duduk?” Nay bertanya dengan kikuk.
“Aku…” Angga pun tak kalah kikuknya, “Aku juga mau ke toilet. Kamu sudah?”
Nay mengangguk.
Angga bergegas menuju toilet dan mengunci pintunya.
Nay sekilas menatap Novan sementara pemuda itu tetap acuh tak acuh, berpura-pura tak terjadi apa-apa.
* * *
Suasana di pemakaman sedikit mendung. Tampak seseorang berjalan dengan tenang menuju makam Nayra, tangannya menggenggam seikat bunga.
Begitu tiba di tujuannya, sosok itu tertegun sejenak. Ia memperhatikan ada seikat bunga yang sama di makam Nayra. Bunga itu memang mulai layu, tapi sudah cukup untuk menjadi tanda siapa yang belum lama ini meletakkannya di sana.
Lana?
Kapan dia ke sini?
Ia buru-buru mengambil ponselnya dan menghubungi nomor ponsel Nay.
Sedang tidak aktif? Di luar jangkauan?
Yang terdengar berikutnya adalah helaan nafas berat.
* * *
“Kami pulang!”
Angga dan Nay akhirnya tiba di rumah setelah perjalanan yang cukup lama dan melelahkan. Mereka berdua berkali-kali mengucap salam tapi tak ada jawaban.
“Sepi?” gumam Angga.
“Apa nggak ada orang?” sahut Nay.
Sekali lagi mereka berdua mengucap salam, namun masih tak ada jawaban.
“Sepertinya memang nggak ada orang,” Angga kembali menggumam sendiri.
Kedua remaja ini akhirnya duduk-duduk di teras.
Lima, limabelas, hingga tigapuluh menit berlalu. Keduanya masih diam, tak tahu apa yang harus dibicarakan. Suasana canggung menyelimuti keduanya sementara hari sudah mulai gelap.
Angga gelisah.
Ini nggak bener!
Aku memang masih kesal sama dia, tapi aku juga nggak bisa selamanya nyuekin dia terus.
“Nay, kamu kalo mau mandi-mandi atau cuci-cuci pake aja kamar mandi di kamarku di rumah sebelah,” ujar Angga canggung.
“Ah? Eh hm… iya sih,” Nay sama canggungnya, “Kebetulan aku juga pengen cuci tangan cuci kaki.”
“Yawdah, di kamar mandiku aja. Ini Ayah atau Ibu juga nggak ketahuan kapan pulangnya.”
“Mmm…, “ Nay ragu, “Boleh?”
Melihat ekspresi Nay yang seperti itu membuat Angga ingin tertawa, rasa kesal di hatinya mendadak menguap entah ke mana. Namun pemuda itu berusaha keras menahan tawanya, ia berdiri membelakangi Nay agar gadis itu tidak melihat ekspresi wajahnya saat ini.
“Yuk!” katanya
“Oke,” Nay bangkit mengikuti Angga.
* * *
Sekarang teleponku nggak diangkat?
Ia rupanya masih penasaran dan berusaha menghubungi Nay.
Kamu kenapa susah banget dihubungi?
Kembali ia menghela nafas. Kali ini ia menggerakkan jemarinya di layar ponsel, sepertinya mengetikkan sesuatu yang kemudian dikirimkannya pada nomor ponsel Nay.
“Kamu nggak makan? Makan malam sudah siap,” terdengar ketukan di pintu kamarnya disusul suara seseorang.
Ia kemudian meletakkan ponselnya,
“Five minutes, mom,” jawabnya.
* * *
Nay sudah mengganti pakaiannya dengan baju casual. Penampilannya saat ini sudah jauh lebih segar, Angga terkesima dibuatnya. Beberapa penghuni kos bahkan mendadak jadi rajin bolak-balik ke kamar Angga.
“Angga, pinjem film yang kemaren dong!”
“Bro, handphone gua kenapa nih? Tolong lu liat.”
“Ngga, siapa tuh? Udah ganti lagi?”
“Kamar mandiku nggak ada air, boleh numpang sebentar?”
“Numpang sholat di sini ya. Kamar ane lagi gelap…”
Nay tersenyum kecil melihat tingkah pemuda-pemuda itu.
“Kamu sibuk ya, Ngga?” tanyanya.
“Tau nih, mereka jadi aneh gitu.”
Nay tersenyum melihat Angga yang sibuk ‘mengusir’ teman-temannya.
“Ngga,” katanya seraya mencolek Angga, “Kita cari makan di luar yuk!”
Kedua remaja ini beranjak dengan diikuti tatapan iri nan memelas dari teman-teman kos Angga.
(Bersambung)
Novan yang sudah lebih dulu tahu tentang Nay akhirnya menegur Angga atas sikapnya pada Nay. Apakah hubungan Angga dan Nay akan kembali membaik? Bagaimana dengan alasan kenapa Nay harus berbohong selama ini? Ikuti terus chapter-chapter terakhir "Ada Cinta" Season I...
“Ada Cinta”, terbit dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jumat…
Ada Cinta #23 : Rana & Perasaannya | Ada Cinta #1 : Siapa gadis Itu?
Sumber gambar : favim.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H