Dari hal-hal diatas, menjadi penting bagi Indonesia sendiri dalam menyikapi secara serius terhadap potensi-potensi terbentuknya golongan-golongan radikal sepertihalnya ISIS tersebut. Menjadi catatan penting juga yaitu  tentang adanya proses dan upaya radikalisasi melalui berbagai bentuk hal dan media dan mencari cara untuk menangkal semua itu.
Kecenderungan penggunaan Agama menjadi alat bagi sekelompok orang untuk membenarkan tindakannya merupakan persoalan utama dalam kasus gerakan ISIS. Dalil-dalil Agama menjadi dasar atas tindakan mereka, mengatasnamakan Agama untuk membenarkan tindakannya yang pada sisi lain, banyak orang bahkan ahli-ahli Agama sendiri menentang dan tidak mengakui adanya pandangan-pandangan radikal agama tersebut. Penyelewengan Agama bisa berbuah bencana seperti yang dilakukan ISIS yang dianggap menyesatkan umat beragama.
Dari arti kata-nya, menurut KBBI online Radikal berarti  secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang; amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak. Dari situ, tidak terlihat pemaknaan negative dari kata radikal. Kbbi online
Namun lebih dalam lagi, menurut Susanti (2012,2) Radikalisme adalah paham, sikap, atau perilaku yang ditandai adanya 4 ciri, yaitu: (1) intolerensi, (2) fanatik, (3) eksklusif, dan (4) revolusioner. Intolerensi artinya sikap yang tidak menghargai pendapat atau keyakinan orang lain, sehingga merasa pendapat atau keyakinannya yang paling benar. Intolerensi ini melahirkan sikap fanatik yang berlebihan terhadap diri atau kelompoknya sendiri, dan menganggap orang lain atau kelompok lain salah.
Eksklusif yaitu membedakan diri atau cenderung memisahkan diri dari kebiasaan umum, sehingga ingin memaksakan orang lain atau kelompok lain berlaku seperti dirinya melalui cara-cara kekerasan. Bentuk-bentuk gerakan radikalisme ini umumnya melahirkan gerakan-gerakan militan, gerakan fundamentalis, anarkisme, atau terorisme. Radikalisme ini memang tidak selamanya negatif, tergantung cara merealisasikan dan mengekspresikan serta cara pandang orang melihatnya. Namun radikalisme sering menjadi momok atau monster bagi banyak orang mengingat sifatnya yang menginginkan perubahan dalam waktu cepat seringkali identik dengan instabilitas politik dan keamanan. Susanti (2012,2)
Radikalisme sering mengatasnamakan Islam, oleh karena itu Radikalisme Islam senantiasa menjadi wacana walau radikalisme agama-agama lainnya juga ada. Paham radikalisme Islam seringkali muncul ketika menghadapi kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang dipandang dapat mengancam penerapan ajaran agama Islam yang diyakini pemeluknya secara mutlak benar. Kelompok radikal seringkali merasa bertanggung jawab dan wajib memperjuangkan keyakinan agama Islam secara benar. Semangat ini mengilhami gerakan radikalisme di Indonesia, ditambah dengan sentimen anti Barat sebagai perlawanan terhadap sistem perekonomian kapitalisme.
Semacam gerakan Pan Islamisme yang pernah tumbuh yaitu menyatukan kelompok Islam di Indonesia sebagai kelompok yang terpinggirkan oleh dominasi kekuatan Barat di awal abad ke-19. Radikalisme sering mengatasnamakan Islam, oleh karena itu Radikalisme Islam senantiasa menjadi wacana walau radikalisme agama-agama lainnya juga ada. Paham radikalisme Islam seringkali muncul ketika menghadapi kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang dipandang dapat mengancam penerapan ajaran agama Islam yang diyakini pemeluknya secara mutlak benar. Kelompok radikal seringkali merasa bertanggung jawab dan wajib memperjuangkan keyakinan agama Islam secara benar .Semangat ini mengilhami gerakan radikalisme di Indonesia, ditambah dengan sentimen anti Barat sebagai perlawanan terhadap sistem perekonomian kapitalisme. Semacam gerakan Pan Islamisme yang pernah tumbuh yaitu menyatukan kelompok Islam di Indonesia sebagai kelompok yang terpinggirkan oleh dominasi kekuatan Barat di awal abad ke-19. Susanti (2012,3)
Indeks radikalisme di Indonesia sebagaimana dikemukakan Wuryanto (2011) sudah berada di atas normal. Indonesia adalah negara yang tingkat 3 kemajemukannya tinggi dan tempat perbedaan berkumpul baik itu perbedaan suku, ras, agama, adat istiadat, dsb. Tindakan radikal muncul karena individu/kelompok radikal tidak dapat menerima perbedaan, bahkan menganggap kemajemukan yang terjadi di masyarakat dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompok radikal. Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensi kelompok radikal, yang bersangkutan harus mengeliminasi kelompok lain yang tidak sepaham. Radikalisme yang mengatasnamakan agama justru secara tidak sadar para pengikutnya membenci ajaran agama mereka sendiri. Oleh karena itu jika terjadi aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, maka yang salah adalah persepsi seseorang tersebut tentang ajaran agama yang dianutnya. Susanti (2012,4)
PENYEBARAN PAHAM RADIKALISME ISLAM
Para pendukung faham radikalisme Islam menggunakan berbagai sarana dan media untuk menyebarluaskan faham mereka, baik dalam rangka pengkaderan internal anggota maupun untuk kepentingan sosialisasi kepada masyarakat luas. Berikut sarana yang ditempuh untuk menyebarluaskan faham radikalisme: