Â
Semua pihak haruslah memiliki komitmen yang sama dalam proses pemusnahan paham-paham radikal seperti yang telah di jelaskan di atas. Dalam tugas Negara, Negara harus miliki system penangkal atas paham-paham dan tindakan radikal baik itu dalam pencegahan melalui pendidikan dan penguatan keamanan, beserta penguatan prinsip lembaga-lembaga Agama maupun tokoh-tokoh Agama yang ada di masyarakat yang juga memiliki tanggung jawab atas pencegahan secara langsung atas masuknya paham-paham Radikal seperti ISIS. Kemudian, sosialisasi dari keluarga sebagai lembaga paling inti dalam masyarakat. Pada intinya dapat dikatakan bahwa perhatian utama harus diletakan pada sisi pemahaman tentang Agama yang benar yang bisa dilakukan melalui pendidikan umum, pendidikan yang berbasis agama misalnya pesantren dsb. Dan pendidikan keluarga yang mendasar.
Maka yang perlu dilakukan dalam rangka menangani masalah radikalisasi adalah:
Â
1. Memberikan penjelasan tentang Agama Islam secara memadai. Misi ajaran Agama yang sebenarnya sangat mulia dan luhur seringkali justru mengalami distorsi akibat pemahaman yang keliru terhadap beberapa aspek ajaran Islam yang berpotensi menimbulkan faham radikalisme.
2. Mengedepankan dialog dalam pembelajaran agama. Pembelajaran Agama Islam yang mengedepankan indoktrinasi faham tertentu dengan mengesampingkan faham yang lain hanya akan membuat para siswa memiliki sikap eksklusif yang pada gilirannya kurang menghargai keberadaan liyan atau others. Sudah saatnya para guru PAI membekali dirinya dengan pemahaman yang luas dan lintas madzhab sehingga mampu mememenuhi kehausan spiritual siswa dan mahasiswa dengan pencerahan yang bersendikan kedamaian dan kesejukan ajaran Agama.
Â
3. Pemantauan terhadap kegiatan dan materi mentoring keagamaan. Keberadaan kegiatan mentoring agama Islam atau kegiatan Rohis yang lain di sekolah sesungguhnya sangat membantu tercapainya tujuan pendidikan agama Islam. Namun jika guru PAI tidak melakukan pendampingan dan monitoring, dikhawatirkan terjadi pembelokan kegiatan mentoring dan Rohis lainnya. Bagi pengurus Rohis, sudah seharusnya mereka selalu berkonsultasi dengan pihak guru Agama atau pihak-pihak lain yang dipandang memiliki wawasan keislaman moderat agar tidak terbawa arus pada pemahaman Islam yang sarat dengan muatan radikalisme.
Â
4. Pengenalan dan penerapan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural pada dasarnya adalah konsep dan praktek pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai persamaan tanpa melihat perbedaan latar belakang budaya, sosial-ekonomi, etnis, agama, gender, dan lain-lain. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hak pendidikan. Dengan penerapan pendidikan multikultural, diharapkan semangat eksklusif dan merasa benar sendiri sebagai penyebab terjadinya konflik dengan liyan atau others bisa dihindari. Seorang multukulturalis sejati adalah pribadi yang selalu bersikap toleran, menghargai keberadaan liyan tanpa dia sendiri kehilangan identitasnya. Kalau tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga akan mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan agama Islam, dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada agamanya, juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama. Dengan demikian, dalam hal ini, semua materi buku-buku yang diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya untuk menyusun bentuk kurikulum pendidikan agama berbasis pluralisme agama.
Â