Mohon tunggu...
Ryan Christyanto Adhy Nugroho
Ryan Christyanto Adhy Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menangkis Proses Radikalisasi Negara Islam Irak dan Suriah (Niis)/ Islamic State Of Iraq and Syria (Isis) di Indonesia

21 Februari 2016   22:12 Diperbarui: 21 Februari 2016   22:35 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Romo Frans Magnis Suseno, tokoh Katolik dan Budayawan Indonesia.

Dia mengaku sebagai sosok yang radikal di dalam iman. Namun, radikalisme yang di anut tidak membuat dia memandang sinis agama lain. Menurutnya, radikalisme bisa berjalan beriringan dengan sikap terbuka, toleran, atau pluralis. Sebab, radikalisme tidak berarti kekerasan namun kesediaan seseorang untuk secara penuh atau 100 persen menghayati dan menjalankan imannya. Radikalisme, menurutnya, tidak sama-sama dengan fanatisme dan fundamentalisme. Seseorang yang fanatik menyingkirkan semua pertimbangan kemanusiaan dan ideologi di luar pikirannya.

 

Orang yang fanatik bisa menjadi teroris karena dia berjuang demi agamanya. Sedangkan, fundamentalisme adalah intepretasi tertentu terhadap iman. Seorang fundamental mengira dia sudah mengerti agamanya. Ciri khas fundamentalisme adalah penganutnya merasa sangat yakin telah sepenuhnya memiliki kebenaran, tidak ada keraguan, dan tidak perlu mempertanyakan imannya lagi. Seorang fundamental menganggap tahu persis apa kehendak Allah, sehingga hermeneutika atau tafsiran adalah barang haram dan murtad.

 

Romo Magnis mengatakan, seluruh situasi pluralitas terkategori rawan konflik. Oleh karena itu, perlu terus menerus dibangun komunikasi demi mencairkan prasangka dan kecurigaan antaragama. Dia mencontohkan, dalam hubungan pribadi sekali pun, seseorang tidak boleh membuat pembedaan. Misalnya apakah orang lain Islam moderat, liberal, garis keras, fundamental, dan lainnya. Sebaliknya, seseorang harus berani berdialog untuk menghilangkan rasa was-was berlebihan dan menghapus stereotipe. Dia mengatakan salah satu bahaya dalam hubungan beragama adalah saat kita melihat orang lain sebagai unsur dari kelompok dan bukan sebagai pribadi. Dari situlah semua apriori dan prasangka masuk sehingga menghambat komunikasi.

 

Di sisi lain, dia menuturkan, seseorang juga harus memandang agama lain dari sudut pandang bagaimana orang-orang terbaik dari agama itu melihat agamanya. Sebagai contoh, orang Kristiani harus melihat Islam dari sudut pandang tokoh-tokoh Islam yang sungguh-sungguh. Bukan dilihat dari segala kemiringan atau kejelekan agama Islam. “Kita harus mampu menghargai yang berbeda, boleh saja kita punya kritik. Tidak perlu semua hal kita setujui karena dalam agama memang ada perbedaan yang fundamental. Kita terima saja,” gkimabes.org

 

TINDAKAN PREVENTIF PENANGGULANGAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun