Mohon tunggu...
Violla Reininda
Violla Reininda Mohon Tunggu... Pengacara - Konversi isi kepala.

Junior Associate pada Refly Harun and Partners; Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara; Instagram: @viorei_

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Bawaslu dan KPU Tak Satu Perahu

7 September 2018   09:46 Diperbarui: 7 September 2018   10:03 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan  keterangan Bawaslu RI pun, ketidaksetujuan ini telah disampaikan saat  Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR. Alasannya, PKPU melanggar  hak konstitusional warga negara dan UU No. 7/2017. Dengan demikian,  sikap Bawaslu tentang permasalahan ini tidak perlu dipersoalkan.

Sudah Tepat

Putusan  yang dihasilkan Bawaslu daerah pada dasarnya sudah tepat. Apabila norma  hukum yang lebih rendah bertentangan dengan norma hukum yang lebih  tinggi, maka yang digunakan sebagai pijakan adalah norma hukum yang  lebih tinggi. 

Oleh karena PKPU No. 20/2018 berlawanan dengan UU No.  7/2017, sudah semestinya Bawaslu berpegangan pada undang-undang yang  kedudukannya lebih tinggi, sebagai koreksi terhadap PKPU untuk memulihkan hak pilih warga negara.

Namun, di sisi lain semangat  KPU untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi dapat dipahami  sebagai bentuk tanggapan atas keresahan masyarakat dan hal tersebut  perlu diapresiasi, meskipun menurut hemat saya, upaya yang dilakukan  telah melenceng dari koridor hukum, kaidah konstitusional, dan  rasionalitas.

Kerangka berpikir yang demikian malah bersifat kontradiktif dengan sistem keadilan pemilu (electoral justice)  yang hendak menjamin pelaksanaan pemilu sesuai dengan kerangka hukum  dan menegakkan hak pilih warga negara. 

Sebab ketentuan yang dibentuk KPU  berdampak luar biasa dan tidak wajar, yakni menghapuskan hak  konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan  seumur hidup, bukan lagi bersifat pembatasan.

Mengikuti UU No.  7/2017 pada hakikatnya sudah cukup. Demi mewujudkan pemilu yang adil dan  berintegritas, KPU cukup mengumumkan status calon anggota legislatif  kepada publik. Hal ini juga menjadi bagian dari pendidikan politik bagi  masyarakat agar masyarakat secara objektif menilai sendiri track record calon yang bersangkutan.

Tugas  KPU bukan untuk menentukan dan menyodorkan calon yang seperti apa yang  mesti dipilih masyarakat. KPU hanya perlu memastikan bahwa  penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan sendi-sendi keadilan  pemilu.

Terlepas dari hal itu, sangat disayangkan, KPU  bersikukuh untuk tidak menjalankan putusan tersebut dan tetap mencoret  nama-nama bakal calon anggota legislatif yang merupakan mantan  narapidana kasus korupsi. 

Padahal putusan Bawaslu daerah bersifat  mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU, kecuali putusan tersebut  dibatalkan di tingkat banding atau kasasi yang telah berkekuatan hukum  tetap. Jika masih enggan melaksanakan, bakal caleg dapat melaporkan KPU  ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, sebab telah melanggar kode  etik dengan tidak mematuhi putusan Bawaslu daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun